Merah Menyala

Breaking Reza

Dari kejauhan aku mendengar suara tembakan. Sejenak aku menutup mata dan menundukkan kepalaku sambil berdoa pada Tuhan agar kekacauan ini segera usai. Namun aku terkejut saat mendengar suara jeritan seseorang. Sontak aku membuka mataku dan berlari menuju ke arah sisa puing-puing bangunan untuk berlidung. Zaky berada tepat di depanku dan memintaku untuk tetap tenang. Tiba-tiba terdengar suara helikopter melancarkan serangan udara. Helikopter itu menyapu bersih orang-orang ini dengan mesin pembantainya. 

“Berlindunglah!” seru Zaky kepada semua orang. 

Walaupun helikopternya hanya satu, tetap saja kami kewalahan untuk membalas serangan itu, karena tidak semua dari kami memiliki senjata. Beberapa orang mencoba membalas tembakan itu dengan cara melempar batu atau dengan apa saja yang bisa mereka gunakan untuk menyerang. Akan tetapi usaha keras mereka tak sebanding dengan kekuatan lawan. Satu per satu tumbang diterjang peluru, hingga tanah memerah karena darah mereka. Aku juga ikut menjadi bulan-bulanan musuh. Ku coba memberanikan diri untuk menyerang seadanya. 

“Lari! Cepat cari tempat yang aman!” teriak Zaky. Tapi aku tidak bisa berhenti menembaki mereka. Sadar jika aku akan terbunuh, ia pun berlari ke arahku dan menarikku dengan cepat ke tempat yang lain. Namun mereka berhasil membuatku terluka di bagian tangan. Zaky dengan lihainya berhasil menembak balik salah seorang tentara itu yang membuatnya terjatuh dari helikopter. Sesaat setelah kejadian itu, tentara-tentara itu memilih untuk mundur dan kegaduhan pun seketika tak terdengar lagi. 

Aku mengerang kesakitan. Sepintas aku menyangka hidupku akan berakhir. Zaky mengambil sebuah kain, entah darimana ia dapatkan, kemudian ia lilitkan di tempat aku terluka. 

“Kau baik-baik saja?” 

Aku menganggukkan kepalaku sambil berterima kasih padanya. 

“Tidak apa-apa. Mereka sudah pergi.” Ia menenangkanku dan menggenggam tanganku. Dengan pandangan yang masih kabur, aku melihat ayahku datang menghapiriku. Aku besyukur karena Tuhan masih melindunginya. 

*** 

Aku berdiri di atas tanah yang tandus. Merasakan hembusan angin yang membawa debu bersamanya. Ingin sekali rasanya aku melakukan hal yang sama kepada orang-orang loreng itu. Aku marah dan benci. Mereka telah membuat keluargaku menderita dan membunuh keluarga teman baikku. Terkadang aku berbicara pada diriku sendiri, “apakah aku masih bisa melihat keluargaku esok hari?” Ku hanya bisa bungkam sembari menatap Zaky yang selalu terduduk menyandarkan tubuhnya pada sisa-sisa puing reruntuhan itu. Tangannya tampak serius mengurus AK 47-nya yang letih memuntahkan timah panas pagi tadi. 

Aku tahu bagaimana perasaan temanku ini setelah seluruh keluarganya terbunuh. Aku mencoba untuk menghiburnya tapi diriku sendiri juga butuh pelipur. Aku selalu menangis, dan temanku ini mengetahuinya. Bahkan ia datang kepadaku untuk menghiburku. Entah bagaimana nasib kami di kota ini. Kota yang sudah lama berdiri sejak para penjajah itu belum menapakkan kaki mereka di sini. 

Sejak mereka tiba lengkap dengan beragam mesin pembunuhnya, kami tidak pernah lagi melihat rumput yang hijau, bisikan angin yang menenangkan jiwa, atau canda tawa dari keluarga-keluarga kami. Sekarang hanya ada tangisan dan jeritan dari semua orang. Bahkan kota yang dulunya asri telah kusut berlumuran darah. Ribuan orang tergeletak kaku tak bernyawa di jalanan. Sedangkan kami masih saja berlari untuk bertahan hidup. Entah karena mereka belum berhasrat menghabisi kami, atau sebab kasih sayang Tuhan yang masih menyelimuti kami. Tak ada yang bisa kami lakukan. Mereka memburu kami seperti anjing. 

Aku melihat temanku berjalan ke arahku dan menyapaku. “Bagaimana harimu?” Kulihat wajahnya mencoba menenangkanku. 

“Kau tidak perlu menanyakan hal itu lagi padaku. Ku kira, semua orang merasakan hal yang sama, kau juga. Kita hanya menunggu mati di sini.” Aku tidak bisa menyembunyikan raut wajah yang lesu ini. Setiap hari aku terus kehilangan gairah hidup. 

“Kita tidak akan menunggu untuk mati, Hery. Setidaknya kita harus melawan mereka walaupun terlihat mustahil. Kita harus bersatu jika ingin tangguh seperti mereka.” Aku hanya menundukkan kepalaku tanpa membalas sepatah kata pun kepadanya. 

*** 

Hari mulai gelap. Perlahan rasa takut itu kian mendekati kami. Kami harus lebih berwaspada di malam hari karena para serdadu sering melancarkan serangan melalui udara. 

“Sebaiknya kita bersiap-siap sekarang. Hery, jangan takut. Aku bersamamu.” Ia membantuku berdiri dan memberikan sebuah senapan untukku. 

Entah kenapa terkadang aku merasa semangatku kembali jika bersama temanku ini. Ia begitu tangguh untuk dirinya sendiri. 

“Kau masih belum menyerah, Zaky?” Tanyaku kepadanya. 

“Selama aku masih bisa berjalan dengan kakiku sendiri, kenapa harus menyerah?” Ia menularkan semangatnya padaku. Aku pun tanpa ragu meraihnya untuk memastikan bahwa aku juga tangguh sepertinya walaupun terkadang aku mengeluh. 

Malam ini bulan terlihat begitu bersinar. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya dan sepertinya akan terjadi badai kecil di sini. Aku tetap wasapada. Aku harus berhati-hati untuk memastikan diriku tetap hidup sampai esok hari. Aku juga harus menjaga keluargaku karena aku tidak sanggup melihat mereka meninggalkanku. Karena aku tahu aku tidak setegar Zaky. 

*** 

Esok harinya, setelah melaksanakan ibadah, aku menghampiri Zaky. 

“Sudah lebih baik?” Ia bertanya padaku. Aku menganggukkan kepala dan kemudian duduk di sampingnya. 

“Mereka akan kembali, kan?” aku balik bertanya. Ia hanya tersenyum padaku. 

“Berjanjilah padaku untuk tetap bersama.” Kataku. 

“Maka kau harus berjanji pada dirimu sendiri untuk terus menjaga keluargamu.” Aku mengerti kenapa Zaky berkata seperti ini padaku. Mungkin ia merasa bersalah atas kematian keluarganya. 

“Beristirahatlah, sobat. Kau masih belum sepenuhnya pulih.” 

“Tidak, Aku akan terus menemanimu. Kau tidak perlu meragukanku lagi.” Ia lalu memegangi pundakku. Tiba-tiba kembali terdengar suara tembakan. Kali ini empat helikopter menyerang kami. Aku dan Zaky berlari untuk mengambil senjata dan menyerang mereka bersama yang lainnya. Namun kami kewalahan karena mereka menyerang kami secara membabi buta. Zaky menginstruksikan pada kami untuk berlindung. Sedangkan aku berlari menuju keluargaku dan membawa mereka ke tempat yang aman. 

Zaky berjuang dengan gagahnya. Dalam kondisi seperti ini, ia bahkan masih bisa menembaki setidaknya tiga orang tentara-tentara itu. Dan sekali lagi, ia kembali menyelamatkan nyawaku. “Hery awas!” Ia menjerit padaku. 

Sejenak situasi menjadi sangat kacau. Peluru-peluru itu dengan cepat merenggut nyawa orang-orang ini. Entah apa yang mereka inginkan dari kota kami ini. Mereka menyerang kami tanpa ampun. 

Zaky mencoba melindungiku, namun aku terkejut saat ia terkena tembakan di bagian perutnya. Sulit dipercaya tapi aku harus membawanya ke tempat aman. Di tengah situasi seperti ini tentu sangat sulit untuk berlari. Tapi aku tidak boleh takut. Aku terus menggotong temanku dengan darah yang terus mengucur deras. Akhirnya serangan berhenti setelah dua helikopter menembakkan roket yang membuat semuanya hancur. Mereka pun pergi. 

Aku terus menahan darah yang keluar dari perut Zaky. Saat itu aku panik dan menangis. Ia memegang tanganku. “Hery, tak apa. Aku akan baik-baik saja.” Tapi aku terus menangis dan mengambil apa saja untuk menutupi luka itu. 

“Aku bangga padamu, Hery. Kau sungguh berani. Jangan pernah takut, berjanjilah padaku.” 

Aku menganggukkan kepalaku beriringan dengan hembusan nafasnya yang terakhir. Aku tak kuasa membendung air mata ini, meluap begitu saja. 

Keesokannya, tibalah saat kami untuk mengebumikan jenazah sang pejuang. Aku masih tak percaya jika ia telah tiada. Tapi aku telah berjanji padanya untuk tidak pernah takut. Ia benar-benar telah membuatku berdiri dengan kakiku sendiri. 

“Istirahatlah temanku.” Aku mengusap kedua mataku yang tak berhenti mengalirkan air. Di mulai dari depan batu nisan ini, aku akan melanjutkan perjuangannya. Aku akan terus melewati hari-hari yang keras ini walaupun kaki dan tanganku berdarah. Semangatnya telah menerobos masuk ke dalam nadiku. Tak ada kata ampun untuk mereka. Kini merahku semakin menyala.

Bersambung...

~Breaking Reza

Comments