Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy


Foto oleh Pixabay dari Pexels

        Bagian I: Kekacauan di Kota Cot Jambee

Di atas atap perpustakaan, aku sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk terjun bebas. Ada seorang napi bernama Fernando, ia melarikan diri dari penjara. Dari informasi yang ku dengar, ia kabur setelah terjadi ledakan di dalam sel, dan sialnya, ledakan itu merusak beberapa sel lainnya. Insiden ini pun seperti menjadi angin segar bagi para tahanan lain, mereka juga kabur bersama Fernando; penjahat gila yang melakukan aksi di luar batas.

Duaarrr...
Duaarrr...
Duaarrrr... 

Tiba-tiba tedengar lagi tiga ledakan di tiga sektor yang berbeda sekaligus. Dari atas sini, aku dapat melihat api yang berkobar-kobar. Sialan, apa itu perbuatannya? Sepertinya, ada skenario tersendiri saat ia tertangkap kemarin sore. Enthlah, tapi aku punya firasat jika Fernando mungkin sengaja menyerahkan diri saat itu; barangkali untuk melihat kondisi tertentu... atau untuk menentukan rencananya. Yang pasti, ada beberapa kekacauan terjadi sejak ia kabur satu jam lalu.

Aku membidik dan menekan pelatuk grapple gun ke sebuah tower tertinggi di Cot Jambee.

Taang... 
Tuupp... 

Talinya melaju ke sana dalam kecepatan tinggi yang dengan seketika terlilit sempurna di besi-besi yang ada di sana. Aku menarik-narik talinya untuk memastikan benda ini sudah terikat ketat. 

Lalu, seorang satpam datang dan membawakan tas ransel — milikku. Petugas ini bernama Anwar, teman lamaku. Begitu ia memberikan tas ini padaku langsung aku mengenakannya... ia hanya memperhatikan saja apa yang sedang ku lakukan. 

"Yoshh..."

"Kau akan terjun sekarang?" Tanya Anwar, aku mengangguk.

Lalu ia berjalan mendekati sisi ujung gedung... melihat-lihat ke sekitar sebelum kemudian menoleh padaku. 

"Ku pikir, lima belas detik setelah kau terjun dari sini, kau harus melepaskan parasut di dalam tas itu. Jika tidak, kau akan terlambat dan tak akan sampai ke sisi menara sana sesuai perkiraanmu." 

"Aku tidak menuju ke sana, tower itu hanya sebagai tempatku untuk meluncur lebih jauh. Tujuanku adalah... gedung tua yang ada di jalan Alaydrus 05." 

"Bukankah itu terlalu jauh dari sini? Apa yang akan kau lakukan?" Anwar menatapku dengan kebingungan. 

"Memburu Fernando..." sahutku singkat.

Sebenarnya aku tidak tahu pasti di mana bandit keparat itu berada sekarang. Aku ke gedung tua di Jalan Alaydrus 05 sebab Awsya ada di sana. Ya, dia juga sedang mengejar Fernando sebab saat orang itu kabur dari penjara, rekanku sedang berada di situ. Mungkin ia langsung bergegas untuk menelusuri jejak si penjahat. Yang membuatku khawatir adalah Awsya ke gedung tua itu bersama dua polisi—mereka adalah polisi yang berbahaya. Dapat ku katakan mereka adalah pengkhianat.

Bagaimana pun juga, aku punya firasat buruk. Barangkali, Awsya adalah target pembunuhan. Dan sayangnya, wanita itu tidak menyadari bahwa ia sedang bersama dua pengkhianat. Sekarang, yang dapat ku lakukan adalah menyusul Awsya secepat mungkin… setidaknya kini aku sudah mengetahui posisinya dengan jelas setelah ku coba melacak wanita itu melalui aplikasi Whatsapp. Sedangkan Fernando, aku percayakan kepada Kapten Tiyo dan pasukannya; ia juga akan dibantu oleh sahabatku Benny.

Maka, begitu semua persiapan selesai ku kerjakan, grapple gun pun sudah dalam genggaman—aku mundur beberapa langkah lalu berlari sekencang mungkin. Begitu diriku berada di ujung tepian atap gedung perpustakaan ini, ku dorong beberapa senti tubuhku ke atas... sejauh yang ku bisa untuk kemudian terjun bebas ke bawah. 

Aku menghitung sampai tiga, kemudian ku tekan pelatuk grapple gun lebih dalam hingga menarikku lagi ke atas untuk membawa jauh diriku ke tower tertinggi itu. Dalam hitungan sepuluh detik, aku telah dibawa jauh ke atas dan ku biarkan sejenak sampai tiga menit. Begitu tubuhku terjatuh kembali, aku memastikan jubah yang ku kenakan ini terbuka bebas dengan tujuan udara dapat mengalir ke seluruh baju panjang ini.

Ya, jubah ini memang sudah ku rakit sedemikian rupa. Setiap saat aku terjun dari ketinggian, jubahnya akan terisi udara secara otomatis untuk membuatku dapat melayang dan mengontrolnya sebaik mungkin. Semua ini ku persiapkan agar diriku terhindar dari hantaman keras jika sewaktu-waktu aku terlempar dari ketinggian. 

Maka, ketika udara terisi penuh, aku pun terbang layaknya burung kelelawar melayang-layang di udara malam—melewati lampu-lampu kota dari atas. Saat ku pikir sudah waktunya, ku buang saja grapple gun tadi dan membiarkan tubuhku mengapung di udara dalam beberapa waktu. 

Kini aku membelokkan haluan... menjauhkan diri dari tower tadi untuk menuju ke gedung tua di jalan Alaydrus 05. Dalam tiga menit setelahnya, ku tekan sebuah bulatan kecil di tempat ikatan ransel, seketika parasut mengembang. Sekarang, aku dapat berada lebih lama di udara.

Bangunan tua itu ada di arah jam 11, dan aku mulai berhitung mundur dari 20… tepat di angka terakhir, langsung diriku membidik ke lantai dua gedung ini. Hanya dalam tiga detik sebelum itu, ku lepaskan ikatan parasut— dengan hanya modal jubah yang masih mengaliri udara dan jarakku yang tinggal satu meter saja ke lantai dua itu, tanpa berlama-lama ku tarik jubah ini untuk menutupi kepala…

Praangg…

Aku menghantam kaca dan pecah. Tidak ingin membuang-buang waktu, langsung diriku berguling sebanyak tiga kali untuk kemudian segera bangkit.

“Hey… jangan bergerak.” Seorang lelaki ternyata sudah menyambutku. Ia memakai jaket kulit hitam dengan sebuah senjata laras panjang di tangan kanan… berlari mendekat untuk menghantam wajahku yang memang berada di dekatnya.

Aku pun tepat waktu untuk menghentikan serangannya. Senjata tadi mudah saja ku raih dan langsung ku rebut… memukuli pipi kanan dan kirinya secara bergantian lalu ku akhiri dengan menghantam sisi dagunya. Lelaki ini terangkat dan tersungkur tanpa sedikitpun melawan.

Tapi masih belum, seorang temannya ternyata juga sudah mengambil ancang-ancang dan menyerangku dengan pedang panjang dari belakang. Suara langkah serta desahan napasnya yang menggebu-gebu membuatku mudah merasakan kehadirannya dari titik buta. 

Begitu ia mengayunkan pedang aku pun spontan merunduk, memutar sisi tubuh berhadapan dengannya—di waktu yang sama ku tegakkan posisi badan tepat sebelum ia kembali mengayunkan pedang. Dari celah ini aku menanduk hidungnya—keras!

“Aaaakkkhh…”

Erangannya belum cukup untuk menghentikan serangan. Begitu pedang terlepas dari tangannya karena tak kuasa menahan rasa sakit di hidung, aku bergerak cepat dan menghabisi lelaki ini dengan tiga pukulan sekaligus ; dua di perut dan sekali di dada ; kepalan tinjuku langsung merobohkan kekokohan kakinya.

Meskipun dua penjahat ini sudah lemah tak berdaya, tapi aku mesti mengikat mereka. Alih-alih mengambil borgol, ku koyak saja sebagian pakaian mereka lalu mengikat keduanya di sebuah tiang kayu. Barangkali ini sudah cukup untuk menahan mereka sementara waktu paling tidak sampai para polisi datang. Setelah itu, ku ambil telepon genggam dan kembali melacak keberadaan Awsya melalui Whatsapp sekaligus memberi pesan kepada Kapten Tiyo di mana posisiku berada saat ini.

Tiit tiit…

Dari layar ponsel, ku lihat Awsya berada di lantai tiga, tepat di atasku. Begitu aku hendak bergerak, tiba-tiba terdengar suara tembakan yang sontak membuatku panik.

Door Door

Sialan… apa mereka membunuh Awsya?

Tidak ada waktu untuk berasumsi. Segera aku memburu langkah, menaiki tangga dan begitu kakiku berpijak di lantai tiga,

Doorr…

Bajingan… aku tertembak dan ambruk begitu saja. Pelurunya seakan menembus ke perut.

“Naif sekali… kau tak menyadari sama sekali bahwa aku ada di sini, Detektif Jimmy, ha ha ha…”

Suara itu tidak asing bagiku. Ya… dia adalah Ferndando. Ternyata ia memang berada di gedung tua ini juga.

Kini, dalam posisi telungkup, kedua mataku masih dapat menangkap bayangan seorang pria berpakaian seragam polisi berdiri di belakang Awsya. Tangan kirinya mencekik leher wanita itu, sedangkan satunya lagi memegangi pistol yang ia tempelkan di kepala sang polwan.

Dan tiba-tiba, seorang polisi lain datang dan menendang tubuhku berkali-kali sembari berkata, “aku sudah dari dulu ingin melakukan ini, detektif bajingan.”

“Hei bodoh…!” Fernando berteriak, “bukan seperti itu caranya memperlakukan tamu yang istimewa. Pertama, periksa dulu apa yang dia sembunyikan di dalam jubah itu. Lalu, aku akan membunuhmu.”

Polisi yang menendangku tadi bingung, ia melirik Fernando dengan cahaya mata ketakutan. Tapi, dia sendiri juga tak punya pilihan… dengan tangan gemetaran, ia merunduk membalikkan posisi tubuhku yang telungkup, memasukkan tangannya ke dalam jubah hitam yang ku kenakan. Di saat bersamaan, aku menatapnya… ia seperti terkejut sebab tak ada bercak darah di pakaianku setelah tertembak tadi. Dan dalam detik itu pula seketika ia menjerit.

“Aaaakkkkhhh…”

Polisi ini kesetrum setelah menyentuh jubahku; tubuhnya tertolak ke atas lalu terpental… tergeletak lemah begitu saja.

Ya, tidak sembarangan orang bisa menyentuh jubah ini sebab ada aliran listrik yang akan menyetrum bagi siapa saja yang mencoba-coba. Ini ku lakukan sebab di dalam jubah ini, ada banyak senjata yang ku simpan… semua untuk berjaga-jaga.

“Wa ha ha ha… dasar bodoh… bodoohh…” Fernando berlari dan menendang-nendang anak buahnya dengan kegirangan. Setelah itu, ia menembak mati lelaki tersebut. Ternyata, peringatannya tadi bukan lelucon belaka.

Aku sendiri tak tinggal diam; tahu kini Fernando sedikit lengah, langsung saja aku bangkit dan mencekik lehernya dari belakang. Ia memang berusaha memukuliku, tapi pukulannya terlalu lemah. Tanpa berpikir dua kali, cengkraman tanganku di lehernya semakin erat, lalu ku angkat tubuhnya dengan satu tangan dan membanting kasar bandit ini ke lantai.

Di sisi lain, polisi yang sedang menahan Awsya mulai waspada, “bergerak satu langkah, kepala wanita ini akan meledak. Aku tak main-main,…!” Ia menggertak.

Aku tak peduli dan terus berjalan… mendekati mereka.

“Detektif… cukup sekali ku katakan atau aku akan menembak kepala perempuan ini!” Ia memperingatkanku meski aku sama sekali tak peduli.

Ketika jarinya menekan pelatuk pistol.

tekk… tekk…

Lelaki itu bingung kenapa senjatanya tidak mengeluarkan peluru. Ini karena ulahku, ketika aku mencekik Fernando tadi, ku sempatkan mengambil sebuah laser kecil. Laser ini dapat mengeluarkan sinar merah dan biru di mana masing-masing punya peranan yang berbeda. Aku menyasar senjata polisi pengkhianat itu dengan laser merah sehingga benda tersebut rusak dari dalam tanpa ia sadari.

Sedangkan Awsya menyadari keanehan ini, ia paham dan langsung menyikut wajah polisi itu, lalu memutar badan sambil melayangkan kepalan tinju ke wajahnya. Serangan sang polwan benar-benar membuat si pengkhianat ini hilang kendali meski dia masih tetap berusaha menahan tumpuan kakinya agar tetap berdiri kokoh. Namun, sebuah tendangan Kung Fu mendorong jauh lelaki itu hingga membentur dinding. Tak kusangka Awsya melakukan gerakan itu.

“Kau tak apa?” Tanyaku padanya, Awsya hanya mengangguk.

Prok prok prok

“Luar biasa… aku kagum terhadapmu, polwan manis.” Sahut Fernando sambil bertepuk tangan. Kemudian ia berdiri dan menembaki polisi yang dikalahkan oleh rekanku tadi.

Door door

“Heii… apa yang kau lakukan?” Awsya seakan tak percaya melihat tingkah bandit itu.

“Apa yang aku lakukan? Aku hanya membersihkan sampah-sampah ini. Mereka sama sekali tidak berguna.” Sahutnya.

“Jatuhkan senjatamu…!” Awsya mengarahkan pistol ke Fernando sebab lelaki itu juga memegangi benda tersebut.

Sambil tersenyum, ia menjatuhkan senjata lalu berkata, “sebetulnya aku tidak berniat membunuh kalian… belum saatnya.”

Ocehannya benar-benar membuatku muak, lantas aku berlari untuk menahan pergerakannya tapi ia bereaksi cepat dengan mengambil sebuah alat yang terlihat seperti sebuah remote mungil.

“A… aa… aa… tahan sejenak di sana, detektif, atau aku akan meledakkan sebuah rumah sakit.” Kini ia mengancam dan terpaksa aku harus menuruti perkataannya.

“Baiklah, kenapa kita tidak berbicara sebentar?” Fernando menatapku serius, “lucu sekali, aku menembakmu tapi kau tidak mati. Tapi, itu bukan sesuatu yang mengherankanku karena kau detektif dengan segudang rahasia yang kau sembunyikan di balik jubahmu itu, kan? Belum lagi, kau orang yang sangat terencana dan begitu akurat dalam hal menentukan strategi.”

Memang aku sudah mempersiapkan semuanya sebelum tiba di gedung tua ini salah satunya dengan memakai setelan khusus anti peluru; menutupi seluruh tubuhku dari dada hingga kaki, membuat tembakan yang disasar oleh bedebah ini berakhir sia-sia.

Namun semua itu takkan ada gunanya jika aku lengah dari Fernando. Aku juga tahu, ia merupakan penjahat yang sulit untuk ditaklukkan dan sama sekali tidak gentar menghadapi kami berdua. Bahkan dirinya masih bisa tertawa seperti tidak terjadi apa-apa. Lelaki ini memang sosok gila yang pernah ku temui.

“Aku…” ia menunjuk dirinya sendiri, “merasa terhormat dapat berhadapan denganmu, untuk kesekian kalinya.” Lanjut si berandal ini.

Aku tak menghiraukan celotehannya dan terus menaruh kedua mata menatap lurus Fernando.

“Apa yang kau rencanakan?” Aku mulai bertanya. Tatapanku juga serius.

“Oohh, kau mulai penasaran, ya? Aku suka itu. Ha ha ha… ada kabar gembira yang ingin ku katakan padamu,” bedebah ini mengumbar senyuman. “Beberapa polisi sudah berkhianat dan bekerja denganku. Tapi jangan salahkan aku, itu semua karna mereka sendiri—mereka suka bekerja sama denganku.”

Memang, ada banyak polisi yang berkhianat termasuk dua orang yang bersama Awsya tadi. Lagipula, Kapten Tiyo juga mengatakan hal yang sama.

“Kenapa kau berniat meledakkan rumah sakit?”

“Bisa dibilang itu seperti… emmm… aaa… karna aku suka. Ha ha ha…”

Sudah ku duga ia pasti akan menjawab dengan cara seperti itu.

“Bayangkan, ada kembang api di tengah malam sunyi… langit yang gelap akan menjadi lebih terang. Semua akan terbakar…” ia mulai mendekatiku perlahan.

“Kau pasti juga suka melihatnya, kan? Bukankah dengan semuanya terbakar akan terasa lebih menyenangkan…?” Bajingan ini tak henti-henti mengoceh.

“Ya, kau benar…” ujarku sembari mengangkat lengan kiri yang terlilit jam digital ke sisi depan wajahku. “Tapi aku lebih suka melihatmu seperti ini…”

“Hah…?” Ia mengangkat alis karena tak paham maksud perkataanku. “Seperti ap…?”

Belum selesai dirinya mengoceh, bersamaan dengan itu, sebuah jarum kecil meluncur deras dari jam tanganku dan melukai hidungnya. Fernando pun spontan berteriak, kedua tangannya memegangi hidung yang seketika berlumuran darah.

Maka, ini kesempatan bagus. Aku berlari kencang; ia menyadari pergerakanku dan hendak berusaha menekan tombol di remote tadi untuk meledakkan rumah sakit. Tapi dengan cepat aku melompat dan mendarat tepat di hadapannya.

Di waktu bersamaan ini, ku raih tangan Fernando dan memutari tubuhnya membelakangiku; aku dalam posisi bagus untuk mematahkan lengan kirinya. Tapi tidak ku lakukan dan hanya menedang punggungnya untuk merebut benda mungil yang dipegang olehnya. Seketika ia tercampak beberapa meter dariku. Remote ini lantas ku lempar kepada Awsya.

Namun aku tak menyangka, ternyata Fernando masih memiliki pistol lain di balik jaket. Langsung ia mengambilnya dan menyasari rekan wanitaku. Sedangkan aku kembali berlari untuk menghantam si keparat itu agar sasarannya melenceng.

Dalam situasi genting, aku melirik pistol Fernando kemudian menolehkan tatapan ke Awsya yang berdiri sedikit berjauhan dariku.

“Awsyaaa!!!” teriakku.

Dalam detik-detik krusial ini, ia mencoba menghindar, tapi…

Door

Awsya tergeletak tepat di saat aku terjatuh bersama Fernando. Bajingan… ia tertembak.


***

Bersambung...

Comments