Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Foto oleh Monstera dari Pexels


Bagian II: 
Rumah Sakit Umum Cot Jambee

__ __


Aku langsung memacu mobil dalam kecepatan 80 km per jam. Bersama Benny, ini adalah saat yang tepat untuk melacak keberadaan si pengirim pesan teror.

Aku sendiri tidak tahu pasti apakah dirinya berada di Rumah Sakit Umum Cot Jambee. Yang pasti, firasatku mengatakan bahwa saat orang itu mengirim pesan tadi, kode angka yang dikirimnya bagiku kemungkinan besar dia ada di sana.

Selain itu, sebuah inisial yang tertera juga bisa ku katakan si peneror itu ada di rumah sakit. C. J.-K… sebenarnya aku menganggap dia ada di Cot Jambee. Tapi jika hanya mengaitkan kota yang besar seperti ini, bagiku terlalu luas dan sangat umum. 

“C. J. itu memang masuk akal untuk menamainya Cot Jambee. Lalu kenapa kau malah berpikir dia ada di Rumah Sakit Umum?” Benny bertanya.

“Pertama, Rumah Sakit Umum Cot Jambee ada di jalan Teuku nomor 6. Kedua, inisial C. J.-K. itu… bagiku huruf K-nya adalah Keumala yang tak lain adalah ruang inap kamar di sana.” Aku berujar.

“Baik, angka 6 dan C J. K sudah terjawab. Tapi bagaimana dengan angka 2 7, 3 0, dan 11 ini?”

Aku menggelengkan kepala, “belum ku ketahui. Barangkali di sana kita akan mendapati sesuatu.”

Bagaimanapun juga, angka-angka itu terlalu sulit untuk dicari maknanya. Sampai sekarang aku masih belum punya ide sedikitpun.


***


Ponselku berdering. Seseorang menelpon tapi mungkin dia segera memutuskannya. Tak lama kemudian, notofikasi Whatsapp berbunyi, ada satu pesan masuk.

Aku membuka layar kunci lalu masuk ke laman Whatsapp untuk membuka pesan ini yang tak lain adalah dari si peneror yang masih misteri.

Dia menulis:

“Apa kau tahu kenapa aku suka menyimbolkan mawar merah sebagai darah yang indah? Ku harap kau menjawab pesanku ini atau aku akan melakukan sesuatu yang tak kau duga-duga. Ingat detektif, waktumu hanya lima menit dari sekarang untuk memberikan jawaban sesuai isi pikiranku.”

Apa maksud si peneror ini…? Untuk kesekian kalinya dia mengirim pesan yang sukar ku mengerti. Aku terus berpikir apa poin yang dia kirim padaku.

Jeda satu menit kemudian, orang itu kembali mengirim pesan.

“Lima menit tersisa… jika kau tidak membalas pesanku, aku akan melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehmu. Jelilah, detektif.”

Kata-kata lima “menit tersisa”, entah kenapa aku yakin dia pasti masih berada di Rumah Sakit Umum Cot Jambee. Sekarang, tinggal mencari kemungkinan dia sedang berada di mana.

Tapi ini tidak mudah… aku sudah mencoba melacaknya. Sepertinya, si peneror ini mampu memanipulasi keberadaannya. Dia tahu aku bisa melacak seseorang dari nomor kartu SIM yang digunakan. Dia juga tahu aku melakukannya melalui jaringan telepon. Dengan kata lain, dia pasti tahu kelemahanku.

Meski begitu, sekarang aku baru menyadari sesuatu. Ku ambil sebuah alat kecil dari dalam jubah lalu ku lekatkan di ponsel yang dengan otomatis menyala. Alat ini berfungsi untuk menangkap sinyal apapun itu.

Sekarang, yang aku butuhkan adalah melacak keberadaan si peneror ini. Maka, aku pun membalas pesan pertama darinya.

“Aku akan menjawabmu melalui telepon.” tulisku.

Lantas, belum sampai satu menit dia kembali membalas, “dengan senang hati.”

Tepat setelah pesan balasan yang dia kirim, aku pun langsung menancapkan sebuah chip kecil di kamera CCTV. Kemudian, ku hubungkan jam tanganku dengan benda kecil tadi serta ke sebuah ponsel satunya yang memang khusus ku bawa untuk melacak. Terakhir, ku pakai headset lalu menghubungi si peneror tersebut.

Tuut tuut tuut

Begitu ia menjawab panggilanku, alat kecil yang ku lekatkan di ponsel satunya langsung mendeteksi keberadaan sang peneror. Gerak cepat, aku pun meretas kamera CCTV agar terhubung ke ponsel pelacak. Dengan demikian, aku bisa mengontrol kamera ini semauku.

Sekarang, aku bisa melihat di mana peneror itu berada. Tapi aku masih belum bisa memastikan. Lalu tiba-tiba dia bergumam…

“Berikan jawabannya detektif, waktumu tersisa dua menit lagi.” Kata si peneror itu dari telepon genggam.

Bagus...

Berkat suaranya itu, aku menjadi yakin keberadaannya.

“Sisa waktu dua menit adalah penentuan.” jawabku kepadanya.

“Jangan banyak mengoceh. Posisimu sekarang sedang tidak menguntungkan.”

“Terima kasih atas peringatannya. Tapi ku ingatkan juga, sekarang posisimu sudah berada di tanganku.”

“Apa maksudmu…? Jangan main-main denganku, detektif…!”

“Dan ku harap kau juga tidak main-main denganku…!”

Segera aku pun berlari menuju ke lokasi di mana si peneror itu berada. Bersamaan dengan ini pula, dia memutuskan panggilanku.

Aku tahu dia pasti akan segera berangkat dan oleh karena itu aku mesti bergerak cepat. Sekarang, ku perhatikan dari layar ponsel pelacak, dia sedang berada di lantai tiga, tepatnya di ruang rawat Keumala. Sesuai dugaanku tadi.

C J. K. Kode inisial yang dia kirimkan padaku beberapa menit sebelumnya memang sebuah kode tentang keberadaannya. Tapi ini bukan fakta melainkan firasat saja. Entah kenapa aku yakin bahwa dia memang sengaja memberi tahuku tentang keberadaannya.

Dalam perjalanan menuju ke si peneror, aku berulang kali menghubungi Benny. Kami memang sengaja berpisah sejak tiba di Rumah Sakit Umum Cot Jambee untuk memudahkan melacak orang itu. Dan sekarang entah kenapa ponsel temanku tidak aktif.

Sedangkan aku fokus saja berlari. Di tengah perjalanan, aku berhenti sejenak dan menoleh ke kiri. Ada lift…!

Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke dalam lift agar lebih cepat sampai ke lantai tiga. Dan begitu pintunya tertutup, aku langsung di bawa ke atas. Tapi tiba-tiba saja lift ini berhenti dan lampu di dalamnya juga padam.

“Kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini? Apakah rusak?” Aku bergumam dalam hati.

Tiiing…

Notifikasi Whatsapp kembali berbunyi… dari si peneror lagi.

“Selamat, kau sudah masuk ke dalam jebakanku.” Tulis orang itu. Ia bahkan mengakhiri pesannya dengan sebuah emoji tertawa sambil menangis.


***

Bersambung...

Comments