Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Foto oleh Monstera dari Pexels


Bagian I: Angka Misterius

-- --

Tok tok tok


Ada seseorang mengetuk pintu. “Masuk…” ujarku.


Ternyata Benny. Dengan setelan jaket kulit hitam dan sebuah topi, ia duduk di sampingku yang sedang sibuk dengan komputer. Aku masih mencoba membuntuti sang peneror.


“Apa yang kau dapat?” Tanyanya.


“Pesan dan pesan… selebihnya tidak ada.”


Beberapa hari ini banyak sekali teror yang masuk melalui pesan Whatsapp. Mulai dari perampokan hingga pembunuhan, hampir satu minggu ini pesan itu tak henti-henti menderingkan ponsel.


Teror ini pun sedikit mengusik. Walaupun sudah beberapa kali ku cari cara untuk melacak orangnya, tapi usahaku selalu buntu. Si pelaku mungkin adalah orang yang handal, dia sering mengganti-ganti posisinya sesaat hendak mengirim pesan ancaman ini.


“Dia sedang mempermainkanmu…”


“Tidak masalah jika dia ingin bermain, aku hanya penasaran bagaimana dia bisa se-cerdik ini membuat dirinya tak terlihat setiap saat aku melacaknya.” Tuturku.


Posisi pelaku ketika memberi teror dari Whatsapp selalu berada di titik koordinator yang sulit ditebak. Seharusnya aku bisa melacak balik orang itu, tapi dia memang lihai memanipulasi frekuensi jaringan. Dia, mampu menjebakku hanya dengan jaringan telepon.


“Kau bisa meretas jaringan telepon jika ingin tahu keberadaannya.”


“Tidak…” sahutku, “terlalu beresiko karena akan ada banyak hal-hal privasi orang lain yang bocor, bahkan milikku sendiri.


“Benar juga…” kata temanku.


Lalu Benny beranjak untuk membuat kopi instant sedangkan aku masih terus mengutak-atik komputer. Selang tiga menit kemudian ia kembali dan duduk di tempat yang sama dengan membawa dua cangkir kopi. Hawa panasnya menyentuh kulit wajahku yang terbang bersama asap.


“Santai dulu sejenak.” gumamnya.


Aku yang dari tadi duduk tegak kemudian menyandarkan tubuh ke badan kursi sambil mengelusi dagu. Tiba-tiba kepulan asap rokok mengerubungi wajahku.


“Ini…” Benny menawari rokok yang tak lain sebetulnya itu milikku. Dan ini adalah pemandangan aneh karena tidak biasanya ia merokok.


Di sisi lain, aku masih belum bergerak untuk menyentuh keduanya. Pikiranku masih terbawa ke sosok peneror itu. Siapa dan apa motifnya menjadi pertanyaan tersendiri. Lagipula, aku juga bingung dari mana orang itu bisa mendapatkan nomor teleponku. Padahal, tidak sembarangan orang aku memberikannya.


Dalam dudukku sembari melipat kedua tangan, Benny mendekatkan mukanya ke layar komputer yang memang sudah ku hubungkan dengan Whatsapp.


“Apa ini sejenis kode…?”telunjuknya mengarah ke bagian terakhir pesan dari sang peneror.


“Untuk saat ini aku menganggapnya sebagai inisial namanya…”


“Bagaimana jika itu adalah kode di mana dirinya mengirimkan pesan?”


“Maksudmu tempat orang itu berada?”


Benny mengangguk. Sejenak aku terdiam dan berpikir keras. Masuk akal juga jika si peneror itu mengirimkan kode keberadaannya. Tapi, apa dia sebodoh itu memberikannya padaku? Lalu, untuk apa dia melakukannya? Apa agar aku bisa melacaknya?


“Baiklah, bagaimana pendapatmu?” Kali ini menarik mendengar penjelasan Benny sebab sebelumnya aku tak pernah terpikir seperti perkataannya tadi.


“Kita harus melihat pesan-pesan sebelumnya.” balasnya.


Gerak cepat, langsung saja aku membuka pesan si peneror ini dari awal dirinya mengirimiku. Total ada sepuluh pesan yang masuk. Benny membaca perlahan-lahan setiap isinya dengan suara yang jelas.


Memang benar, di ujung pesan, si pengirim selalu menulis sesuatu — seperti inisial nama. Dan inisial-inisial itu semuanya berbeda. Bukan ini saja, dia juga selalu menyertakan angka misterius. Kelihatannya, si peneror ingin diriku memecahkan apapun yang dia kirim, seolah-olah mengajakku masuk ke dalam ranah permainannya.


“Aku punya kesimpulan…” kata Benny.


“Paparkan saja apapun itu.”


“Kemungkinan pertama, itu adalah inisial nama, seperti dugaanmu. Dan menurutku, orang yang mengirim pesan ini bukan hanya satu tapi ada beberapa. Katakan saja mungkin tiga meskipun semua inisial yang ada berbeda-beda. Barangkali, mereka punya lebih dari satu inisial nama…”


“Hmmm…?” aku mulai bingung.


“Lebih mudahnya, bisa jadi inisial yang mereka pakai juga bersamaan dengan nama samaran yang mereka pakai, seperti kita.”


Mataku menatap dalam wajah Benny, ku yakini alis kananku agak sedikit naik pertanda aku masih bertanya-tanya.


“Kenapa?”


“Tidak, tidak. Lanjutkan” celotehku.


“Lalu kemungkinan kedua… seperti yang ku katakan tadi, itu adalah inisial tempat-tempat di mana dia mengirimkan pesan. Dengan kata lain, bisa jadi peneror ini hanya satu orang tapi dia lihai memanipulasi keberadaannya. Akan tetapi, dia tetap memberikanmu kode rahasia berupa jejak-jejak yang pernah ia singgahi.”


“Oke… tapi kenapa?”


“Ya mungkin seperti kataku tadi, dia mengajakmu bermain.” ujar Benny sambil mengambil cangkir kopi.


Ia lalu melanjutkan pembahasan. Pertama dirinya berbicara tentang angka yang terletak di sudut paling atas. Awalnya aku mengira itu hanya tanggal biasa, tapi Benny malah menerjemahkan ke arah lain.


“Aku setuju kau bilang ini adalah tanggal, tapi bagaimana jika ini merupakan angka yang punya satu atau beberapa tragedi…?”


“Apa maksudmu?”


Benny menarik rokoknya, “surat pertama dia kirim seminggu yang lalu, apa kau tahu persis apa yang terjadi di tujuh hari ke belakang di Cot Jambee…? Secara umumnya saja…”


Lantas aku berpikir kejadian apa yang pernah terjadi minggu lalu. Seingatku, hanya ada terjadi kecelakaan beruntun di Jalan Jamee namun tak ada korban jiwa, semua selamat. Hanya saja kecelakaan itu diakibatkan sopir truk yang sengaja membuat kendaraan yang ia bawa oleng dengan tujuan mobil-mobil lain menabarak truk itu.


Saat itu yang menangani kasus tersebut adalah Awsya, dia berhasil menemukan bukti bahwa sopir truk berusaha membuat kekacauan sebab ada sebuah mobil minibus di depan yang membawa narkoba.


Sopir truk dan pengemudi minibus bekerja sama untuk menghilangkan jejak. Ya pada akhirnya misi mereka gagal berdua dan obat terlarang itu pun juga berhasil diamankan.


“Tanggalnya tepat saat kejadian kecelakaan dan lihat inisial yang dia buat di paling bawah…” Benny mengarahkan telunjuknya ke monitor. Di situ peneror membuat inisial berupa JN JME.


“Apa masuk akal jika kita berasumsi JN JME itu adalah Jalan Jamee?” Ia melanjutkan.


“Bisa saja, dan JME itu pasti Jamee. Lalu diperkuat dengan tanggal kecelakaan…”


“Tidak hanya itu, lihat…” Benny membawa mataku ke sebuah tulisan Bising 5 mobil akan membawa petaka untukmu di atas garis putih yang terputus-putus 13.


“Kata bising 5 mobil aku yakin itu adalah jumlah mobil yang tertabrak, tapi …” Benny menarik lagi rokok.


“Yang tertabrak setahuku ada enam mobil.” Ia menoleh ke arahku dengan bingung.


“Jika kita melibatkan truknya, tapi jika hanya melibatkan mobil lain, itu berarti lima. Barangkali dia tidak memasukkan truk itu karena memang kendaraan itu yang menyebabkan kecelakaan.” jekasku.


“Hmm… yaa masuk akal… lalu bagaimana dengan garis putih yang terputus-putus 13? Katakan saja garis putih itu jalan, tapi angka tiga belas-nya?”


“Mungkin itu waktu… lebih tepatnya jam saat kecelakaan itu terjadi.” gumamku.


Tiba-tiba Benny menepuk bahuku, “itu masuk akal. Baiklah…”


Tampak raut wajahnya sangat bersemangat. Setelah ku paparkan pendapatku tadi, Benny lantas membaca ulang satu persatu surat teror ini hingga yang terakhir. Kira-kira isi pesannya seperti ini:


“10_

Jejak darah 08 tumpah. Jika seandainya 22 berjalan mundur, aku mampu membuka rahasianya sebelum darah dia bocor membanjir.


Yang tidak terjawab adalah dosa bagi mereka yang saling menutupi. Aku akan mencarimu jika kau tidak mencariku.


01 sudut kegelapan

Bersiap-siaplah

L. A.”


Begitulah isi pesannya yang mana serentak membuat kami berdua berpikir keras. Dan tak terasa rokok Benny sudah habis, tangannya spontan mendekati bungkus rokok untuk mengambil sebatang lainnya. Tidak biasanya dia merokok seperti ini.


“Yang ini sedikit rumit…” katanya dan aku mengangguk setuju.


Berselang dua detik kemudian, ku teguk kopi yang sudah agak mendingin lalu melanjutkan, “10, 08, 22, 01. Dan inisial-nya yaitu L. A.” Ku katakan ini sambil menulis di sebuah buku kecil.


Setelah menulis, aku berdiam diri sejenak dalam beberapa detik untuk menggagaskan kesimpulan sementara.


“L. A… entah kenapa aku berpikir itu adalah Lam Angan… jika memang bukan inisial nama orang.” Aku menoleh kepada Benny.


“Hmm, ya oke…”


Untuk beberapa detik, aku dan dirinya saling menatap. Satu sisi aku meliriknya dengan tujuan menanti apabila Benny punya asumsi lain. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda dia akan berbicara.


“Si peneror ini mengirim pesan setelah tragedi pembunuhan seorang anak berumur 8 tahun di Lam Angan.”


“Kenapa kau seyakin itu?”


“Tidak juga, ini hanya asumsi… lebih tepatnya firasatku.”


“Oh, baiklah. Jika itu sudah berkaitan dengan firasatmu, lalu…?” Benny kembali membakar rokok.


“Angka 22 itu pasti pembunuhnya, kan? Setahuku, ibunya sendiri yang membunuh. Yaa aku tak tahu berapa usianya tapi dia terlihat masih mudah dan sepertinya berumur 22 tahun, dan si anak 8 tahun.” ia berujar bersamaan dengan asap rokok menyembul keluar dari mulutnya.


“Menurutku…” aku pun juga malah ikut-ikutan membakar rokok. “Angka 22 itu adalah hari ulang tahunnya anak delapan tahun tersebut.”


“Haah…?” Benny seakan sulit menerima anggapanku. “Bukankah itu terlalu jauh?”


“Kecuali kau menganggapnya seperti itu.” Celotehku.


Aku punya pandangan tersendiri perkara angka 22 itu. Kenapa hari ulang tahun si anak yang terbunuh itu? Sebelum ku jelaskan lebih lanjut, aku mesti mengatakan juga bahwa tragedi di Lam Angan itu adalah pembunuhan yang dilancarkan oleh sang ibu kandung.


Untuk kasus ini, aku juga tidak terlibat sebab Kapolsek Lam Angan sendiri yang turun tangan bersama beberapa bawahannya, meskipun ada campur tangan Fuad atas pinta sang Kapolsek.


Dengan kata lain, kasus pembunuhan ini masih ada sedikit sangkut pautnya denganku sebab Fuad adalah rekan dekat. Saat itu dia berkata bahwa dalang pembunuhan terhadap anak kecil berusia 8 tahun itu adalah ibu kandungnya. Dan, dari penyelidikan lebih lanjut, sang ibu sengaja membunuh anaknya karena tak tega melihat sang buah hati yang terus di bully oleh teman-teman sekolah.


Ya, anak kecil itu merupakan disabilitas dan sering menjadi bahan olok-olok. Oleh karena itu sang ibu membunuhnya. Dikarenakan tidak sanggup melakukan tindakan kejam itu, sang ibu memutuskan untuk membunuh anaknya di hari yang sangat spesial sebagai bentuk kasih sayang… menurut perempuan itu.


Bagiku, hari spesial berarti hari ulang tahun sebab dari pengakuannya, ia beriming-iming memberi kado terindah untuk si buah hati, dan kado itu adalah membunuh.


“Dari mana kau tahu informasi itu?” Benny bertanya dengan kebingungan.


“Fuad menjelaskan semua padaku. Lagipula, dia sendiri yang menjadi penyidik wanita itu.”


“Jadi, 08 itu anak yang menjadi korban pembunuhan, dan 22 adalah hari di mana dia terbunuh tepatnya di hari ulang tahun…”


Aku mengangguk mendengar pernyataan Benny.


“Lantas, 01 itu…?”


“Aku berfikir itu adalah rumah di mana pembunuhan tersebut dilakukan.”


“Oke baik, Lam Angan, anak berusia 8 tahun tewas di tanggal 22 di rumahnya yang bernomor 01.”


“Kita sudah sepakat jika ini hanya asumsi sementara.” kataku.


“Aku tak masalah dengan asumsi, lalu bagaimana dengan firasatmu?”


“Delapan puluh lima persen.” sahutku dengan singkat.


“Maka aku tidak akan meremehkan semua yang kau paparkan ini.”


“Kesampingkan dulu firasat.” Kataku.


Ctekk


Aku mulai membakar rokok. “Dari semua pesan teror yang dia kirim, aku baru menyadari satu hal.”


“Hal apa?”


“Si peneror itu selalu mengirim pesan dengan kasus-kasus yang ada kaitannya denganku.”


“Tunggu, apa maksudmu? Bukannya dari semua kasus ini kau tidak terlibat?” Benny sama sekali tidak mengerti.


“Kau mungkin belum menyadarinya, tapi dari pesan pertama, dan bersamaan dengan kasus-kasus yang ada, kita tahu siapa yang menanganinya. Pertama ada Awsya, Fuad, Kapolsek Lam Angan, bahkan Kapten Tiyo dan dirimu juga. Ini, secara tak langsung terhubung denganku.”


“Apa berarti si peneror ini orang yang mengenal dirimu dengan baik? Jika begitu pasti seorang polisi.”


“Kita bisa menyimpan asumsimu itu,” kataku sambil menarik rokok.


“Sederhananya, si peneror ini tahu banyak tentangku. Atau lebih tepatnya — Awsya, Kapten Tiyo dan bahkan kau — kalian itu adalah orang-orang terdekatku. Barangkali, dia mengirim pesan teror ini kepadaku dengan melibatkan kasus-kasus yang kalian tangani. Dia tahu bahwa kalian pasti akan menyampaikannya padaku.”


“Dengan kata lain, target dia bukan hanya dirimu saja melainkan juga kami?” Benny tiba-tiba mengecilkan suaranya.


“Entahlah… yang jelas, dia tahu banyak rahasia ini. Dan besar kemungkinan terburuknya, dia tahu banyak hal tentang kita.”


“Maka sudah jelas jika peneror itu orang yang sangat berbahaya. Jim, kita harus bergerak cepat…”


Aku mengangguk, “kau benar.”


“Ada baiknya kita beri tahu Kapten Tiyo.”


“Jangan…” sahutku spontan. “Kita mesti tenang. Untuk sementara, pesan teror ini cukup sampai di kita saja. Jangan katakan apapun dulu kepada orang lain.”


“Kenapa…?”


“Aku punya rencana.” Pungkasku.


Tiba-tiba si peneror mengirim satu pesan baru lagi melalui Whatsapp. Di waktu bersamaan ini pula, aku dan Benny membaca serta mencermati isi pesannya.


“Ini angka-angkanya, Jim.”


Aku langsung menyatat nomor yang ada. Terdapat 27, 30, 11 dan 06. Di bagian paling bawah, si pengirim membuat inisial C. J.-K.


“Hei Jim, apa kau tahu inisial itu?”


“Sebentar, beri aku waktu satu menit.”


“Satu menit?” Nada suara Benny spontan naik seolah tak percaya.


Aku masa bodoh saja dan hanya fokus kepada kode. C. J, Aku berasumsi itu pasti Cot Jambee. Lalu K itu apa? Tapi tunggu…


“Memangnya kejadian apa yang pernah terjadi di Cot Jambee baru-baru ini?”


Hatiku bergumam sedangkan otak terus bekerja berpikir keras seraya menganalogikakan angka-angka yang diberi oleh sang peneror. Sialan, ini lumayan rumit. Aku tidak punya kesimpulan. Orang itu mengirim pesan yang sangat sukar ku pahami. Jangkauan kode-kodenya terlalu luas jika ku libatkan Cot Jambee secara umum.


Sembari berpikir dan menarik rokok, telingaku semakin panas karena Benny terus-menerus memanggil, membuat aku sama sekali sulit berkonsentrasi.


“Benny, diam…!” celotehku yang spontan memukul meja. “Kita ke Rumah Sakit Umum Cot Jambee… sekarang!”


“Kau bahkan belum berpikir sampai satu menit, baru 30 detik. Dan sekarang malah mengajakku ke sana…?”


“Sudah jangan cerewet,” aku langsung buru-buru beranjak mengambil kunci mobil. “Akan ku jelaskan padamu nanti.”


Sembari memakai jubah hitam kebesaranku di mana ada berbagai macam senjata unik di dalamnya, kami berdua pun berlari masuk ke mobil untuk menelusuri keberadaan si peneror misterius itu.


***

Bersambung...


Comments