Bulan purnama bersinar terang menyinari gelapnya malam di kota Old City. Seolah menjadi saksi atas jeritan-jeritan orang di kota itu. Angin berhembus kencang seperti merasakan penderitaan yang dirasakan oleh sebagian orang di kota itu. Old City, dikenal sebagai kota yang kejam di mana orang-orang menengah ke bawah menjadi alat permainan oleh orang-orang kaya. Mereka yang membangkang akan disiksa dengan kejam bahkan sampai membunuhnya.
Di kota ini pula hiduplah pasangan suami istri yang sangat memprihatinkan. Sang suami bernama Mark Yaonis sedangkan istrinya Lonia. Mereka termasuk keluarga yang kerap mendapatkan perbuatan-perbuatan yang tidak layak dari orang-orang kaya di kota itu. Mark yang bekerja sebagai tukang kayu hanya mendapatkan penghasilan sangat minim dari pekerjaannya. Hasil yang ia dapatkan hanya cukup untuk sehari saja bahkan terkadang ia sering dirampok saat hendak pulang dari tempat bekerja dan upah yang ia terima sebagai tukang kayu habis tak tersisa. Mark tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya orang miskin yang tak bisa berlindung. Bahkan suatu malam ia pulang dalam keadaan luka parah akibat perampokan itu. Saat itu ia memberanikan diri untuk melawan orang yang mencegahnya pulang. Lonia begitu terkejut melihat keadaan suaminya yang sangat lemah. Anak-anak mereka pun kerap mendapatkan perlakuaan yang tidak layak. Kota ini memang tak mengenal kata kawan. Siapapun mereka, jika memiliki uang orang-orang itu akan mencoba merampasnya karena kehidupan di kota ini begitu kacau. Mereka saling bunuh-bunuhan untuk bertahan hidup dan membuktikan bahwa mereka tak kalah hebat dari orang-orang kaya. Perlakuan yang kerap di terima oleh Mark dan keluarganya memang sangat tidak layak. Akan tetapi, Mark melarang anak-anaknya melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Ia selalu berkata kepada istri dan anak-anaknya bahwa tetaplah tegar meskipun orang-orang selalu membenci mereka dan bersabar karena Tuhan pasti akan menolong mereka.
Suatu malam, Mark bersama temannya Jacob Jacopolo menuju ke sebuah pesta pernikahan. Awalnya perjalanan terasa aman-aman saja. Tetapi tiba-tiba muncul sekelompok orang yang mencegah perjalanan mereka berdua. Alasannya sederhana, orang-orang itu meminta uang. Mark dan Jacob memiliki kemampuan bela diri yang hebat. Keduanya juga lihai dalam seni pedang. Namun, Mark tidak terlalu memperlihatkan kemampuannya itu, ia lebih memilih untuk diam saja sehingga ia dikenal sebagai lelaki yang lemah. Hal ini berbeda dengan Jacob, ia begitu terkenal dikalangan kota itu karena keberaniannya sehingga orang lain segan untuk menyerangnya. Akan tetapi malam itu tidak seperti biasanya. Sekelompok orang itu memberanikan diri mengancam Mark dan Jacob dan memaksa keduanya untuk mengeluarkan kemampuan mereka yang sebenarnya. “Sungguh berani kalian menantang kami.” Ujar Jacob. “Seranglah kami jika kau sanggup.” Jawab salah seorang dari mereka. Tanpa berpikir panjang Jacob langsung menyerang mereka dengan pukulan-pukulan khasnya. Sedangkan Mark tidak melakukan tindakan apapun sebelumnya sampai seseorang datang dan mencoba menikamnya. Ia berhasil mengelak, menarik baju pria itu dan mencampaknya ke tanah. Sontak perbuatannya mengagetkan orang-orang itu. Ia pun mulai mengeluarkan kemampuan bela dirinya. Satu persatu dari mereka yang menyerangnya berhasil dipukul mundur dengan tangan kosong. “Maafkan aku, aku hanya mencoba berlindung.” Katanya. Setelah menghabiskan sekelompok perampok itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan santai seperti tidak terjadi apa-apa.
Suatu hari Lonia sedang berada di pasar untuk membeli sedikit makanan untuk suami dan anak-anaknya. Saat hendak kembali ke rumahnya ia bertemu dengan seorang lelaki berbadan besar dan mencoba merampas makanan itu. Saat itu wanita ini sedang mengandung anak. Dengan kondisi seperti itu ia tak bisa berbuat apa-apa. Lelaki itu berhasil merampas apa saja yang dimiliki wanita ini. Ia menyiksanya dan bahkan sempat berpikir untuk memperkosanya. Tetapi hal itu urung dilakukan ketika Jacob datang menolong istri temannya. Pria itu berhasil kabur dan wanita ini tak dapat melakukan apa-apa, ia merintih kesakitan. Jacob kemudian membawanya ke rumah dan menceritakan semuanya kepada temannya. Mark langsung merawat istrianya yang sangat lemah itu dan juga memastikan bayi yang di kandung oleh istrinya dalam keadaan baik-baik saja. Ia sungguh terpukul dengan kejadian ini. Pria ini meminta maaf kepada sang istri. Lonia tersenyum kepada Mark, “jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku tahu kau ayah yang hebat.” Lonia mencoba menenangkan Mark dengan kata-katanya. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri lagi, aku berjanji untuk melindungimu dan anak-anak.” Ucapnya dengan berlinang air mata.
Malam harinya sekelompok orang mendatangi rumah Mark. Mereka adalah orang-orang yang telah di habisi oleh Mark bersama Jacob sebelumnya. Tanpa basa-basi mereka datang dan mendobrak pintu rumahnya. Mark yang terkejut terbangun dari tidurnya dan melihat apa yang sedang terjadi. Orang-orang itu mendapatkannya dan mengeroyokinya. Mark berhasil menjauh dari mereka, ia berlari menuju istri dan anak-anaknya untuk segera melarikan diri. Dalam keadaan terjepit mereka berusaha kabur, tetapi sepertinya sudah terlambat.
Jacob yang mendengar kabar itu segera menuju ke tempat temannya dan melihat situasi benar-benar kacau. Kedua anak Mark menjerit ketakutan terhadap amarah orang-orang itu. Jacob menyerang mereka dengan pedangnya sedangkan Mark melakukannya dengan tangan kosong sambil melindungi keluarganya. Situasi menjadi sangat buruk ketika beberapa orang dari kelompok itu membakar rumah Mark. Api dengan cepat menyebar ke seluruh rumah karena sebagian besar rumah tersebut terbuat dari kayu. “Oh tuhan, kenapa menjadi seperti ini.” Ucap Mark pada dirinya sendiri. Sementara istrinya menjerit kepada Mark agar menghindar dari orang-orang jahat itu. Akan tetapi ia tidak bisa, ia harus mempertahankannya dan berusaha meyakinkan kepada istri dan anak-anaknya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mark kemudian menyuruh Jacob membawa keluarganya ke tempat yang aman. Tapi, sebelum Jacob berhasil membawa mereka lari dari situ, kedua anak Mark tewas terbunuh. Mereka menebas kepala anak-anak itu dengan keji. “Anakku…” Lonia menjerit histeris melihat kejadian itu, ia tak ingin pergi meninggalkan kedua anaknya. Jacob datang dan menghalau serangan seseorang yang ingin membunuh Lonia, ia berbalik menyerang orang itu dan menusuknya di bagian dada menggunakan pedangnya.
Mark tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia sudah terkepung oleh belasan orang, mereka mengeroyokinya. Akan tetapi ia terus menyuruh Jacob untuk membawa istrinya ke tempat yang aman. “Lari Lonia, lari. Bawa pergi ia dari sini.” Teriaknya. Jacob langsung menarik tangan Lonia dan berlari sejauh mungkin dari situ. Mark kemudian dipukuli habis-habisan, ia disiksa secara membabi buta. Lalu mereka menyeretnya ke atas sebuah meja yang terletak di dekat pohon besar dan melilitkan tali dilehernya kemudian menggantungnya di atas pohon itu. Salah seorang dari mereka datang dan menikam dadanya, ia membelahnya lalu mengambil jantung pria itu dan memakannya mentah-mentah. Mark sudah tak bernyawa lagi dengan tubuh yang dilumuri darah. Lonia menangisi kepergian suami dan kedua anaknya, ia tak bisa berbuat apa lagi.
Tepat dua bulan sejak kejadian mengerikan itu, Lonia berusaha menegarkan dirinya. Ia mencoba untuk hidup lebih kuat setelah kehilangan segalanya. Satu-satunya yang tersisa hanya anak yang sedang ia kangdung. Keesokan harinya ia berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki sehat dan ia beri nama Arthur Grant Loviccio Yaonis. Ia menggunakan nama suaminya pada akhir nama bayi itu dan berharap anak ini menjadi orang yang hebat dan pemberani seperti Mark ayahnya suatu hari nanti. Kini, Lonia tinggal bersama Jacob untuk sementara waktu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan keluarga Jacob dan memilih tinggal di sebuah rumah tua yang telah lama ditinggal oleh pemiliknya.
Lonia mendidik seorang diri bayi kecilnya itu. Terkadang ia mengangis mengingat kejadian tragis yang menimpa dirinya bersama keluarga. Ia berharap Arthur menjadi seorang laki-laki yang baik dan di hormati oleh orang lain.
Seiring berjalannya waktu, Arthur tumbuh dengan sangat baik dan ceria. Ia seolah hadir bagaikan malaikat yang dapat menghibur wanita itu. Namun, tak jarang Arthur kecil menanyakan dimana ayahnya berada. Lonia tak bisa menyembunyikannya dan mengatakan yang sebenarnya bahwa sang ayah telah tiada. Namun Arthur yang masih berusia lima tahun tetap belum mengerti istilah itu, dan ia tetap ceria menjalani hari-hari bersama ibunya.
Waktu terus berjalan, Arthur kini telah menjadi remaja hebat. Ia dikaruniai fisik yang luar biasa. Kekuatan itu telah terlihat sejak ia berumur sembilan tahun dan semakin tampak menjadi nyata ketika ia berumur 15 tahun. Lelaki ini mampu menghancurkan sebuah batu besar yang jatuh hendak menimpanya saat ia berada di sebuah bukit. Saat itu ia sama sekali tak percaya apa yang telah ia lakukan. Pada detik pertama ia mengira bahwa dirinya telah mati tapi seolah ia dilindungi oleh sebuah kekuatan luar biasa. Saat ia tiba di rumahnya ia menceritakan semua yang terjadi pada ibunya dengan sangat semangat. Namun sang ibu hanya tersenyum manis dihadapannya dan memeluk putranya itu dengan dengan hangat tetapi wajahnya sedikit tak percaya dengan kejadian itu. “Sungguh?”
“Sungguh, bu. Batu itu hampir saja menghantam tubuhku. Jika tidak cepat bertindak mungkin aku sudah mati. Tapi aku menghancurkannya dengan tanaganku.”
“Kau memang hebat anakku. Tetapi kau tidak apa-apa, kan? Apa kau terluka?”
“Aku baik-baik saja bu.”
“Syukurlah, ibu senang mendengarnya. Sekarang istirahatlah karena kau butuh itu.”
Arthur pun menuju ke kamarnya dan beristirahat.
Hidup berkecukupan memang telah dialami oleh keluarga ini sejak Arthur belum lahir. Setelah Mark dan kedua anak pertamanya terbunuh kehidupan mereka tidak berubah. Mereka tetap saja hidup susah. Lonia kini menggantikan peran suaminya sebagai orang yang bertanggung jawab. Ia kini bekerja membanting tulang sebagai tukang kayu, pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh suaminya. Terkadang Arthur membantu ibunya mencari nafkah walau saat itu ibunya melarangnya untuk bekerja karena saat itu ia masih kecil dan pekerjaan seperti ini tentu berat baginya. Tetapi Lonia patut bersyukur dengan hadirnya Arthur. Ia menjadi anak yang sangat menyayangi ibunya dan kerap membela sang ibu dari orang-orang jahat.
Suatu malam Jacob datang menemui Lonia, saat itu Arthur sedang tertidur lelap. Jacob yang merupakan teman dekat Mark merasa sangat kasihan kepada keluarga ini. Kematian Mark tentu tidak bisa begitu saja ia terima, bahkan ia merasa bersalah karena tak dapat menolong Mark saat itu. Ia masih menyesali kematian temannya secara tragis dan tidak manusiawi. Tujuannya datang menemui Lonia adalah ia ingin melindungi keluarga ini. Lonia yang berhasil selamat dari kejadian itu masih dicari hingga sekarang. Oleh karenanya Jacob datang dan mencoba mengatakan yang sebenarnya. Lonia, bukan dirinya yang ia khawatirkan akan tetapi nyawa sang anak yang sangat ia khawatirkan. Ia melihat sang anak dengan sedih, seorang anak yang tak berdosa. Ia takut Arthur juga akan disiksa seperti ayahnya. “Mereka masih memburumu.” Kata Jacob, “mereka sangat dendam kepada keluargamu.” Lanjutnya. “ Bertahun-tahun aku mengalami hal seperti ini. Yang aku khawatirkan adalah Arthur. Aku tidak ingin ia bernasib sama seperti ayah dan saudara-saudaranya.”
“Aku mengerti, dan aku masih menyesali kejadian itu.”
“Itu sudah terjadi, dan mungkin aku sudah tak punya pilihan lagi. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah melindungi putraku dari mereka.”
“Kau masih punya pilihan. Pergilah ke kota yang lebih aman, kau akan hidup lebih baik disana.
“Aku tidak bisa,” Lonia menggelengkan kepalanya. Sesaat ia menitikkan air mata, ia mencoba menahan segala cobaan yang menerpanya. “Aku akan melindungi kalian semampuku, itu pasti.” Ujar Jacob yang mencoba menenangkan Lonia. “Lindungi saja putraku. Ia masih kecil dan mempunyai cita-cita yang besar.” Sahut wanita itu dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Wanita itu mengusap kepala putranya dengan penuh kasih sayang di tengah malam yang sejuk.
Waktu terus berjalan dan kekuatan Arthur semakin menjadi hebat. Ia benar-benar tak percaya dengan dirinya. Hari itu ia begitu semangat bekerja mencari kayu bersama orang-orang lainnya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja sebelum seorang temannya mengeluarkan kata-kata yang mengejek ibu Arthur. Berulang kali Arthur memintanya untuk berhenti berkata hal-hal yang buruk tentang ibunya sampai pada akhirnya perkelahian dimulai. Pria itu menantang Arthur bertarung dengannya. Arthur menolak ajakan itu. Anak ini memang tidak menyukai kekerasan. Perkelahian benar-benar terjadi setelah pria itu memukulnya tepat diwajah Arthur. Tanpa ampun ia pun membalasnya dengan sebuah pukulan di dada pria itu. Tanpa disangka ia terlempar jauh akibat pukulan itu dan menerjang sebuah pohon besar, dan pohon yang berdiri gagah itu pun pada akhirnya tumbang dan hampir menimpa pria itu. Semua orang terkejut dengan kejadian itu. Mereka berlarian ke arah pria malang itu dan mengutuk Arthur atas perbuatannya. Ia meminta maaf tapi tidak begitu mudah diterima oleh orang-orang itu dan mungkin takkan pernah diterima. Pria itu mengalami luka parah pada bagian dada dan lehernya.
Setelah kejadian itu Arthur mulai dimusuhi oleh orang lain. Tak ada satu pun orang yang ingin berteman dengannya, bahkan berita tersebut begitu cepat menyebar dan membuat masyarakat di situ ingin memberinya pelajaran. Namun apa hasilnya? Mereka juga terluka parah bahkan salah seorang dari mereka tewas. Arthur mencoba menjelaskan kepada orang-orang bahwa tindakan yang ia lakukan itu bukanlah hal yang di sengaja melainkan ia hanya mencoba melindungi dirinya sendiri. Tapi tak ada satupun dari mereka yang mendengarnya, dan kemarahan warga semakin besar padanya.
Lonia seakan tak percaya dengan apa yang telah dialami oleh putranya. Awalnya sang ibu juga tidak percaya dengan semua omongan anaknya dan mengharuskan Arthur untuk membuktikannya di hadapan sang ibu. Di sebuah hutan itu Arthur kemudian meninju sebuah pohon besar dan betapa terkejutnya ia melihat pohon itu tumbang. Bahkan ia menghancurkan sebuah pohon lainnya. Lonia terheran-heran dengan kejadian tersebut. “Apa kau bekerja sama dengan setan?”
“Tidak bu, kekuatan ini murni milikku.”
“Lalu darimana kau dapatkan itu?”
“Aku tidak tahu, ia datang begitu saja.”
“Aku tidak percaya lagi denganmu.”
“Ingatkah ibu saat aku menceritakan sebuah batu yang jatuh dan hampir menimpaku? Lalu aku menghancurkannya.” Arthur mencoba membuat ibunya untuk percaya. “Apa hubungannya dengan perbuatanmu yang telah melukai orang-orang?” Lonia membentaknya sambil menitikkan air mata. “Aku tidak berniat melukai mereka. Aku hanya ingin melindungi ibu dari perkataan yang tidak benar. Karena aku sangat menyayangimu. Ibulah satu-satunya yang kumiliki, bahkan aku tidak pernah melihat ayah. Apa aku rela mereka menyakitimu dengan perkataan yang tidak layak? Aku akan terus berdiri di sampingmu dan melindungimu. Bahkan saat ibu tidak lagi percaya padaku, aku takkan pernah pergi meninggalkanmu. Itu adalah janjiku.” Lonia terdiam ketika mendengar perkataan itu dari sang putranya. Arthur pun datang dan memeluk ibunya sambil berbisik, “maafkan aku ibu. Aku tahu ini akan berakibat buruk pada kita dan aku sangat menyesal.” Lonia akhirnya mengerti dan percaya dengan perkataan Arthur. Tetapi ia berpesan kepada putranya itu untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak baik. Ia ingin Arthur bisa menahan amarahnya dan jangan peduli terhadap orang yang berperilaku buruk terhadap mereka. “Apapun yang terjadi, maafkanlah mereka yang telah berbuat jahat padamu. Ayahmu selalu berkata seperti itu.”
Saat ini, hari-hari yang mereka lalui tidak lagi sedamai seperti sebelumnya. Kini banyak orang-orang yang menjauhi keluarga ini karena menganggap sebagai orang pembuat kerusakan. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya merekalah yang telah membuat kota itu menjadi kacau. Lonia khawatir jika kejadian yang pernah ia alami sebelumnya kembali terjadi dan mungkin akan lebih sadis lagi.
Malam itu Arthur duduk berdua dengan ibunya. Rumah itu terlihat sunyi dengan keadaan seperti ini. Arthur bertanya tentang ayahnya, “ibu, apakah ayah meninggal sebelum aku dilahirkan?” Lonia mengangguknya. “Seperti apa wajahnya?”
“Ia sangat mirip denganmu.” Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Apakah ayah saat itu sakit?” Lonia tak tahan menahan kesedihannya, tapi ia harus menahan air matanya dihadapan anaknya tersebut. “Iya, ayahmu mengalami sakit keras.” Ia terpaksa harus berbohong karena ingin melindungi Arthur. Ia yakin Arthur akan sangat marah jika ia mengetahui kejadian yang sebenarnya. “Seandainya ayah masih hidup mungkin keluarga ini akan lengkap. Apalagi jika aku memiliki seorang saudara.” Ujarnya. “Berdoalah agar ayahmu damai di surga.” Kata Lonia sambil tersenyum.
Hari terlihat cerah. Matahari menyinari kota Old City seolah memberikan semangat kepada orang-orang untuk bekerja. Arthur seperti biasanya, berangkat bekerja. Kali ini sang ibu tidak lagi bekerja mencari kayu, tapi pekerjaan itu dilaksanakan oleh putranya. Ia meminta ibunya untuk tidak bekerja lagi. Selain karena ia seorang wanita, fisik ibu lelaki ini juga sudah tidak seperti dulu lagi. Lonia sering sakit-sakitan beberapa hari ini. Tapi dengan semangat hidupnya ia seolah-olah baik-baik saja dan tidak memperdulikan kondisinya.
Arthur sadar jika kehadirannya kini tidak di sukai oleh orang-orang sekitar. Kali ini ia mencoba untuk lebih tenang dan tidak terpancing emosi. Ia mendengar bisikan orang-orang terhadap dirinya dan hal ini membuatnya sedih. Dalam benak lelaki ini, ia tak pernah sekalipun ingin membuat kekacauan. Ia benar-benar menyesal telah melakukannya dan juga sedih dengan keadaan sekarang ini.
Ketika Arthur sedang beristirahat membuang semua rasa lelah setelah bekerja keras, tibalah beberapa orang. Mereka bermaksud untuk menanyakan kekuatan apa yang dimiliki oleh Arthur ini. Akan tetapi ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena kekuatan yang ia miliki tersebut memang sudah ada sejak ia kecil. “Aku tidak tahu kenapa aku menjadi seperti ini.” Ujarnya. Arthur percaya jika kekuatan yang ia miliki itu adalah warisan sang ayahnya. Tetapi sulit untuk membuat mereka percaya akan hal tersebut. Bahkan mereka marah ketika mendengarnya. “Siapa nama ayahmu anak muda?” Tanya salah seorang dari mereka dan Arthur menjawabnya, “Mark Yaonis. Ia sudah meninggal.” Jawaban lelaki ini membuat orang-orang itu terkejut. Mereka tidak percaya jika pria itu adalah anak dari Mark Yaonis. “Siapa nama ibumu nak?”
“Lonia, dialah satu-satunya keluarga yang kumiliki.” Orang-orang itu pernah mendengar cerita tentang penganiyayaan dan pembunuhan secara sadis beberapa tahun yang lalu. Mereka yakin jika Mark adalah orangnya. Mereka menganggap Mark orang yang lemah dan membuat kekacauan di kota Old City. “Dimana rumahmu?”
“Di desa Pace.” Saat itu Arthur tidak memiliki firasat buruk sedikitpun sehingga ia mengatakan tempat tinggalnya. Sebenarnya orang-orang itu memiliki niat buruk setelah mengetahui ayah Arthur. Mungkin saja kejadian pada malam itu akan kembali terulang.
Senja pun tiba. Jacob kembali menuju melihat keadaan Lonia dan Arthur. Namun saat itu Arthur belum kembali dari hutan. Lelaki tua ini membawa makanan untuk mereka. “Bagaimana kondisi kalian? Apa ada orang-orang yang mengganggu?” Jacob coba memastikan keadaan keluarga ini dalam keadaan baik-baik saja. “Kami baik-baik saja.” Lonia menjawab sambil tersenyum. Kemudian ia mengucapkan terima kasih kepada Jacob karena pria itu telah banyak membantunya. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya jika Jacob tidak hadir. Namun tetap saja, Jacob seperti merasa bersalah atas kematian temannya Mark. Ia yakin jika saja dirinya datang pada waktu yang tepat mungkin saja Mark dan kedua anaknya itu bisa terselamatkan.
“Bagaimana dengan anakmu?”
“Semakin hari ia semakin kuat.” Lonia tidak ingin mengatakan jika Arthur memiliki kekuatan yang menakutkan. Ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada putranya bahkan jika ia menceritakan kepada Jacob. “Baiklah, aku senang mendengar kabar baik dari kalian.” Jacob pun kembali dengan sebuah pedang di dalam jubahnya. Pedang itu kini selalu bersamanya sejak terbunuhnya Mark.
Sebelum Arthur kembali ke rumahnya orang-orang itu kembali menghampirinya. Mereka mengatakan jika ia telah bekerja sama dengan setan dan membuatnya kuat seperti ini. Saat itu mereka datang dan hendak mengeroyoki Arthur. Tetapi lelaki ini tidak ingin kejadian itu menimpa dirinya dan orang lain. Maka, dengan tanpa perlawanan mereka memukulinya tanpa ampun.
Ketika ia tiba di rumah, sang ibu begitu terkejut dengan putranya. Wajahnya mengalamai luka. Namun ia tak menghiraukan itu. Tetap saja ia mengatakan jika ia baik-baik saja. Wanita itu menangis dan tak percaya dengan apa yang telah dialami oleh anaknya tersebut. “Apa yang mereka perbuat pada dirimu, anakku?”
“Aku tahu situasi akan menjadi lebih buruk jika aku melawan mereka.”
“Tapi tak seharusnya mereka melakukan ini padamu.”
Arthur tersenyum dan memeluk ibunya. Ia tetap menenangkan ibunya jika ia baik-baik saja. “Mungkin mereka tidak mengerti maksudku, tapi sungguh aku tidak ingin melihatmu terluka sedikitpun.” Ujar lelaki itu. Namun tetap saja, sebagai seorang ibu ia tidak ingin melihat anaknya dalam kondisi yang buruk seperti ini. Wanita itu meminta maaf pada sang anak. Tapi bagi Arthur tidak ada sedikitpun kesalahan pada ibunya terhadap dirinya.
Keesokan harinya, ketika matahari belum menampakkan dirinya, Lonia telah bersiap-siap untuk mencari kayu. Dengan kondisi yang kurang sehat ia tetap memaksakan diri untuk pergi ke hutan. Ia benar-benar merasa bersalah pada anaknya dan berniat pergi tanpa sepengetahuan sang putra. Namun Arthur mengetahui itu dan segera bangkit dari ranjangnya untuk menemui ibunya. Ia benar-benar merasa kasihan pada ibunya yang menanggung semua kesalahannya. “Tidak perlu ibu melakukan itu.”
“Hari ini biarkan ibu yang mencari kayu dan kau beristirahatlah.”
Arthur menggengam tangannya sambil meneteskan air mata. Ia meminta ibunya untuk melupakan semua yang telah terjadi. “Jangan merasa bahwa ibu telah berdosa. Tolong jangan pergi karena aku khawatir dengan kondisimu.” Untuk pertama kalinya ia melihat putranya itu menangis. “Tetaplah disini, aku akan bersamamu hari ini.” Ia membujuk ibunya agar tidak mencari kayu dan menghabiskan hari ini bersama. Wanita itu kemudian mengurungkan niatnya pergi ke hutan.
Hari terlihat tidak bersemangat dimana matahari bersembunyi di balik tebalnya awan hitam. Angin bertiup kencang seolah-olah sedang melampiaskan kemarahannya. Petir juga memperlihatkan kehebatannya dengan suara dan hantamannya. Hujan pun membasahi desa Pace dan sebagian besar kota Old City. Arthur sedang berada di pasar membeli sarapan untuk mereka berdua. Ia berharap alam baik-baik saja walaupun badai sedang melanda kota tua itu. Saat itu ia melihat sebuah rumah menjadi korban akibat kemarahan alam. “Damaikan kota ini.” Ucapnya dalam hati.
Arthur kembali kerumahnya sembari berlari di tengah-tengah hujan badai ini. Namun setibanya dirumah ia menemui ibunya sedang dalam bahaya. Empat orang lelaki itu memukuli ibunya dan menyiksanya. Ia tak tinggal diam. Kakinya berlari lebih cepat dan tiba disana dengan sebuah pukulan yang dahsyat kepada salah seorang dari mereka. Pria itu terlempar jauh akibat pukulannya. Melihat kehadiran Arthur mereka langsung melarikan diri tapi ia tak membiarkannya pergi begitu saja. Ia mencari korban kedua dan melayangkan sebuah pukulan diwajahnya. Terlihat sekilas orang itu sudah tak bernyawa lagi. Benar saja, ketika Arthur meneriakinya dan bertanya alasan mereka datang menyiksa ibunya, mata pria itu hanya melotot dan tak berkedip sedikitpun seolah ia melihat seluruh dosa-dosanya. Dengan kata lain pria itu telah tewas.
Sementara temannya yang bernasib sama mengalami luka parah pada bagian dada. Ia sekarat dan akhirnya meninggal. Tak ada satupun dari mereka yang dapat memberikan alasan kepada Arthur. Sedangkan sisanya berhasil kabur.
Arthur kemudian datang pada ibunya dan memeluknya. Mereka berdua menangis. Ia mencoba menenangkan sang ibu dari tekanan. “Mengapa mereka datang, bu?” Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali teringat akan kejadian di masa lalu. Ia takut jika kejadian itu benar-benar terjadi lagi dan ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi putranya. Ia mulai berpikir jika mereka adalah orang-orang yang dulu pernah meneror keluarganya hingga suami dan kedua anaknya terbunuh.
Mereka lalu memasuki rumah yang sangat sederhana itu. Arthur masih belum mengerti mengapa mereka datang dan menyerang ibunya. Ia melihat sang ibu penuh dengan ketakutan pada wajahnya. Ia ingin menanyakan hal itu kepada ibunya, meski begitu ia tidak akan memaksa wanita itu untuk menjelaskan semuanya, ia menunggu saat yang tepat untuk mendengarnya. Lelaki ini mendekati jendela, mengamati dan memastikan mereka tidak kembali lagi. Dari dalam sana ia merasakan hujan semakin deras mengguyur desa Pace.
Kini Lonia sudah merasa lebih baik, hatinya mulai tenang dan rasa takut akibat peristiwa tadi sudah berkurang. Arthur mengambil segelas air putih hangat untuk diberikan kepada ibunya. “Minumlah, ini akan membuat ibu lebih baik.” Wanita itu meminumnya dengan perlahan seteguk demi seteguk. Ia sangat berterima kasih pada anaknya. Seandainya lelaki itu tidak datang mungkin ia telah terbunuh.
Wanita itu mulai bercerita bagaimana peristiwa itu terjadi. Awalnya mereka datang dan bertanya dimana Arthur. Ia mengatakan bahwa saat itu anaknya sedang berada di pasar dan saat itu semuanya terlihat baik-baik saja. Akan tetapi, tanpa diduga mereka langsung menyiksa wanita ini. Dengan cuaca badai disertai hujan, tidak ada satu orang pun yang datang untuk menolongnya. “Aku tidak mengerti kenapa mereka melakukan itu. Tapi sepertinya mereka orang yang mencari kayu di hutan bersamamu. Ibu masih mengenal wajah mereka karena ibu pernah melihat mereka ketika masih mencari kayu.” Lelaki itu menggenggam tangan ibunya dengan sangat menyesal. “Aku meminta maaf karena saat itu aku tidak berada disampingmu.”
“Tidak Arthur, kau sudah menyelamatkan ibu.”
“Tapi tidak seharusnya mereka melakukan hal keji itu kepada ibu. Sungguh aku sangat marah akan hal itu.” Lonia mencoba memadamkan emosional pada diri Arthur. Ia mengatakan jika semuanya sudah baik-baik saja dan meminta putranya untuk memaafkan mereka dan melupakan semua yang telah terjadi. “Aku khawatir jika mereka datang kembali kepada ibu.”
“Bahkan ibu lebih khawatir dengan dirimu, nak. Keselamatanmu begitu berarti.” Setelah itu semuanya menjadi hening. Sesungguhnya ketakutan Lonia tidaklah sepenuhnya berkurang. Kini ia benar-benar khawatir terhadap keselamatan anaknya.
Tepat sebulan sejak kejadian itu menimpa keluarga kecil ini. Walaupun mereka sudah merasa lebih baik tapi sekarang banyak orang-orang yang sudah membenci mereka. Arthur menjadi pertanyaan besar bagi mereka akibat kekuatannya itu. Keluarga ini juga sudah difitnah bahwa mereka telah membunuh dua orang pekerja pencari kayu. Jacob kembali datang memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu Lonia menceritakan semuanya dan ia takut jika keadaan kembali terulang. Ia tidak ingin anaknya menjadi korban. Wanita itu mengatakan bahwa selama ini Arthur tidak mengetahui jika keluarganya pernah mengalami nasib buruk yang membuat ayah dan kedua saudaranya terbunuh. Bahkan putranya itu tidak mengetahui jika ia memiliki dua saudara laki-laki. Saat itu pula Lonia memberi tahu Jacob bahwa sang anak memiliki kekuatan hebat yang sulit dipercaya. Oleh karena itu ia tidak mengatakan hal yang sebenarnya karena ia takut jika Arthur akan sangat marah kepada orang-orang yang telah menyiksa keluarganya.
“Kau harus segera berlindung.” Namun Lonia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia tidak lagi memiliki saudara selain Jacob dan keluarganya yang ia kenal. Tapi ia tidak ingin jika keluarga Jacob terlibat dengan peristiwa ini. Lagipula, ia tidak mempunyai cukup upah untuk pergi dari Old City. Penghasilan dari mencari kayu di hutan tidaklah cukup untuk bertahan hidup dalam perjalanannya. Jacob pun menyarankan agar Lonia menceritakan semua kebenaran tentang keluarga mereka. Ia yakin Arthur akan mengerti.
Bulan purnama tak mampu menyinari gelapnya malam di desa Pace. Awan tebal menghalau sinarnya untuk tiba di permukaan bumi. Angin pun bertiup begitu kencang pertanda badai akan kembali melanda Pace dan Old City. Saat itu Arthur sedang dalam perjalanan pulang dari hutan. Petir hadir dengan hantaman dahsyatnya membuat suasana malam menjadi menakutkan. Sang ibu berada di rumah seorang diri yang sedang menunggu Arthur dan tiba-tiba beberapa orang datang mengunjungi rumahnya. Wanita itu tahu jika tujuan mereka adalah menanyakan tentang putranya. “Aku tidak mengerti kenapa kalian terus bertanya seperti itu. Anakku seorang yang baik dan ia sama seperti kalian.” Jelasnya kepada mereka. Namun Salah seorang dari mereka membentak Lonia dan menampar wajahnya. “Ia tidak sama seperti kami. Ia telah bekerja sama dengan setan sehingga memiliki kekuatan seperti itu.” Teriak pria itu.
Kemudian mereka membawa Lonia ke suatu tempat secara paksa. “Cepat jalan wanita lemah.” Ia menjerit meminta tolong namun tidak ada orang yang datang. Jacob juga telah kembali ke rumahnya yang jaraknya jauh dari kediaman mereka. Pria itu kembali menamparnya, meneriakinya untuk diam. Lonia terus memberontak tapi hal itu sia-sia. Di tengah-tengah para lelaki itu ia mustahil untuk melawan mereka.
Dengan senyuman kelelahan Arthur tiba di rumah. Namun ia bingung karena suasana begitu sunyi. Ia memanggil-manggil ibunya tetapi tidak ada jawaban. Ia mencari-cari keberadaan sang ibu tapi juga tidak ada tanda-tanda ibunya dirumah. Ia Memiliki firasat buruk, dengan kondisi yang melelahkan ia pergi mencari ibunya.
Hujan mulai mengguyur desa Pace bersamaan dengan sambaran petir. Angin bertiup begitu kencang pada malam itu. Mereka telah sampai di sebuah lapangan dimana mereka membawa Lonia. Di sana ternyata orang-orang sudah menunggu kehadiran wanita ini. Mereka telah membuat persetujuan untuk menangkapnya. Mereka meneriakinya, melemparnya dengan apa saja yang mereka miliki. Lonia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka mengikat kedua tangan wanita itu pada sebuah pohon. “Sekarang kau tidak mempunyai pilihan lagi. Jawab pertanyaan kami dengan jujur atau mati. Setengah dari dirimu sekarang sudah melayang-melayang di langit. Jangan sampai kami membuatnya terlepas dari tubuhmu ini.” Ujar salah seorang lelaki. Sosok Arthur memang mereka percayai memiliki hubungan dengan setan karena kekuatannya itu. Apalagi beberapa orang telah terbunuh ditangan Arthur hanya dengan sekali pukulan saja. Mereka yakin Arthur meminta pertolongan kepada setan agar ia dapat memusnahkan mereka semua. “Ketahuilah saudara-saudara, wanita ini adalah istri dari Mark Yaonis yang terbunuh beberapa tahun yang lalu. Kita semua tahu bahwa Mark seorang pengacau begitu juga dengannya dan tentu saja si bocah setan itu.” Amarah warga tak bisa dikendalikan lagi dan mustahil untuk meredakannya.
Arthur terus berlari mencari keberadaan sang ibu. Ia menitikkan air mata sambil berharap ibunya baik-baik saja. Ketika berlari ia mendengar suara dan ia tidak tahu apa itu. Hatinya mulai cemas dan ia memutuskan untuk menuju ke sana. Sesampainya di sana, ia terheran-heran dengan ramainya orang di lapangan itu. Ia terus mendesaki dirinya untuk dapat memastikan apa yang sedang terjadi dan betapa terkejutnya ia, sang ibu sedang disiksa dengan kondisi tubuh yang sangat lemah. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat, ia yakin jika ini adalah mimpi buruknya. Tapi ia tidak bisa, tidak bisa tersadar dari mimpinya itu. Ia melihat dengan kedua matanya sang ibu di pukuli dengan sebuah balok hingga wajahnya berlumuran darah. Ia berlari kepada ibunya dan memeluknya. Pria ini sempat berbisik di telinga wanita itu, “bangunkan aku dari mimpi buruk ini, ibu.” Lonia hanya menggelengkan kepalanya dan menitikkan air mata. Seorang pria datang dan menarik tubuh Arthur dari Lonia kemudian yang satunya lagi datang dan kembali memukul sang ibu tepat di hadapan putranya. “Ini dia si bocah setan itu.” Semua orang meneriakinya. “Kau yang telah membuat kacau di kota ini sekarang lihatlah, wanita pelacur ini akan kami perbuat seperti yang kau lakukan pada orang-orang kami.” Kemudian pria itu menjambak rambut Lonia dengan sebuah pisau di tangannya. “Masih ada pilihan kecuali kalian berbohong dan aku akan menebas leher wanita ini.”
Jacob mengetahui hal ini tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia berharap semoga tidak ada pertumpahan darah yang terjadi. Semua orang di lapangan itu sudah tak sabar menyaksikan kematian Lonia. Mereka terus mendesak untuk menebas lehernya. “Aku yang melakukan semua itu. Maafkan ibuku, tolong jangan sakiti dia. Bunuh saja aku, tapi tolong lepaskan ibuku.” Arthur memohon sambil menangis, kini ia tak bisa berbuat apa-apa.
Mata pisau itu semakin dekat dengan leher Lonia. Tidak ada hal lain selain ia pasrah dan berdoa. Ia tahu inilah saatnya menceritakan yang sebenarnya kepada Arthur. Semua hal yang telah ia sembunyikan selama ini. “Anakku, aku tahu kau sangat menyayangiku. Aku juga menyayangimu begitu juga dengan ayahmu. Maukah kau mendengar satu hal dariku?” Arthur menganggukkan kepalanya sambil menggenggam kedua tangan ibunya. “Ibu sudah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Ayah dan ibu mengalaminya saat kau masih dalam kandunganku. Aku tidak tahu kenapa mereka berbuat seperti ini kepada kita. Tapi, Aku meminta maaf padamu karena selama ini aku telah berbohong. Ayahmu mati karena terbunuh oleh mereka. Ia berusaha sekeras mungkin untuk dapat melindungi kami. Tapi yang selamat hanya aku dan dirimu. Ia tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri, dan saudaramu juga terbunuh pada malam itu.” Arthur begitu terkejut dengan perkataan ibunya. Ia juga tidak percaya jika dirinya memiliki saudara. “Maafkan ibu yang telah berbohong padamu. Aku tidak menceritakannya karena aku hanya ingin melindungimu dari mereka, tapi ternyata aku gagal.” Arthur menggelengkan kepalanya, “Ibu tidak gagal. Semua yang telah ibu lakukan padaku adalah hal yang baik. Aku hanya ingin ibu berada disisiku karena hanya ibu yang aku miliki di dunia ini.” Pria bertubuh besar itu menendang wajah Arthur. Ia memberi kesempatan terakhir kepada mereka berdua.
Saat itu Arthur menjawab jika ia telah bekerja sama dengan setan untuk mendapatkan kekuatan iblis. Ia berharap mereka akan melepaskan ibunya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka semua memang tidak memberi ampunan lagi kepada keluarga malang ini. Lonia pun menjawab bahwa Arthur tidak pernah bekerja sama dengan setan untuk memperoleh kekuatan itu. Ia juga mengatakan jika putranya seorang yang baik hati jika saja mereka tidak mengganggunya.
Tanpa berkata-kata lagi, seorang pria bertubuh besar itu menebas leher Lonia. Semua orang berteriak meluapkan kekesalan mereka kepada wanita itu. Sedangkan Arthur tidak tahu harus berbuat apa. Ia berlutut di hadapan ibunya yang telah berlumuran darah. Sang ibu menggenggam tangan Arthur dan mencoba mengatakan sesuatu kepada sang anak. Walaupun susah untuk dilakukan ia tetap berusaha. “Maafkan ibu nak. Maafkan mereka semua.” Saat itu pula Lonia menghembuskan nafas terakhirnya. Arthur menjerit seolah tak percaya apa yang telah ia lihat. Satu-satunya orang yang ia miliki dan cintai telah pergi untuk selama-lamanya.
Para warga belum merasa puas. Mereka ingin agar jenazah Lonia di buang ke suatu tempat. Mereka tidak ingin jenazahnya di Old City karena tidak pantas untuk berada di kota itu. Semua orang sepakat untuk membuang Lonia ke sebuah jurang yang letaknya jauh dari kota tua itu.
Jacob sangat menyesal. Sekali lagi ia tak bisa menyelamatkan orang yang telah ia anggap sebagai keluarganya itu. Kini yang tersisa hanya Arthur saja dan melihat pria itu benar-benar terpukul. Walaupun ia belum pernah melihat bagaimana kekuatan yang ada pada diri Arthur, ia yakin kekuatan itulah yang akan membangkitkan lelaki itu, entah itu pada kebaikan atau keburukan. Ia benar-benar yakin suatu hari akan hadir sebuah kekuatan yang dahsyat. “Mark, aku meminta maaf karena aku tidak bisa melindungi keluargamu.”
Hujan semakin deras mengguyur Old City. Malam itu menjadi saksi atas kematian Lonia. Arthur berada di sebuah jurang di mana jenazah ibunya di buang. Di sana ia menyesali semuanya. Ia menyesal karena saat itu ia tidak memukul orang-orang yang berada di lapangan. Tapi ia memang tidak bisa melakukannya. Ia merasa tubuhnya tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu ia ketakutan. Namun kini ia telah mengetahui semuanya, semua hal tentang keluarganya dan ia tidak pernah menyesal terhadap ibunya yang telah berbohong padanya. Ia telah sadar jika selama ini ibunya benar-benar mencoba melindunginya. “Jika mereka datang aku juga akan hadir. Aku rasa sudah waktunya mereka mengetahui sesuatu.”
Setelah mengubur jenazah sang ibu ia terduduk lesu di sebelah makam ibunya. Tak dapat dipercaya jika kini ia telah di tinggal oleh ibunya dan akan menjalani hari-harinya sendiri. Kenangan bersama sang ibu begitu berarti baginya. Begitu banyak kejadian yang telah ia alami bersama ibunya dan tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Kini ia hanya bisa berdoa untuk sang ibu semoga beristirahat dengan damai.
Ia duduk di sebuah batu besar dengan kepala tertunduk lesu. “Maafkan aku, ibu. Kau sungguh seorang ibu yang hebat. Aku juga tahu jika ayah juga seperti itu. Saat ibu mengatakan kepadaku jika aku memiliki saudara, aku tahu mereka juga hebat walaupun aku tidak pernah melihat mereka semua. Aku tidak pernah sekalipun marah terhadap ibu.” Kini ia telah mengetahui semuanya bagaimana kehidupan keluarganya pada saat itu. Ia juga bisa membayangkan bagaimana perjuangan ibunya untuk bertahan hidup dari orang-orang jahat itu. Segala penderitaan telah dialami oleh sang ibu.
Saat itu, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang datang pada dirinya. Namun itu bukanlah sosok manusia. Lelaki ini dapat mendengar suara-suara halus di telinganya. Suara yang membisikkan kata-kata yang akhirnya mengubah dirinya menjadi berbeda. Yang ia rasakan adalah kekuatannya sendiri. Suara itu semakin jelas terdengar dan saat itu ia benar-benar telah memilih untuk kembali ke Old City. “Ibu, terima kasih karena kau telah mengajariku beberapa hal. Tapi ada satu hal yang tidak aku terima dari mereka walaupun ibu memintanya padaku. Aku bersumpah di hadapanmu bahwa aku akan kembali dan membalaskan dendam ini kepada mereka semua dengan kekuatanku. Tidak ada kata maaf lagi untuk mereka.” Keputusannya itu diwarnai dengan hantaman petir yang dahsyat. “Old City, bersiaplah.”
Setelah di landa badai, Old City kini dapat merasakan kehangatan sinar matahari yang menyinari kota itu dengan gagahnya. Di sebuah restauran hadirlah seorang pria dengan mengenakan jubah hitam dan menutupi kepalanya. Dengan tenang ia berbaur dengan keramaian di sana. Seorang pelayan datang kepadanya, “silahkan tuan, disini tempatmu.” Ia duduk dan meminta segelas teh hangat untuk dinikmati pada pagi ini. Ia melihat begitu senangnya orang-orang disini. Ia membuka penutup kepalanya dan diketahui jika lelaki ini adalah Arthur. Pelayan itu datang dengan membawa segelas teh yang telah ia pesan. Ia menarik tangan orang itu, “katakan, darimana orang-orang itu mendapatkan uang?” Pelayan itu menggelengkan kepalanya sambil keheranan. Ia menjelaskan jika restauran ini tidak peduli mereka mendapatkan uang darimana, asalkan mereka membayarnya dengan pantas itu sudah cukup. Arthur lalu membalikkan tubuhnya dan melihat ke sekitar. “Hei lihat, si bocah setan ada disini.” Semua orang melihatnya dengan wajah marah. “Apa yang kau lakukan disini? Apa masih belum puas dengan kematian ibumu?” Arthur kemudian berdiri dari kursi, dengan mata dingin dia menghantam sebuah meja. Semua orang terkejut dengan apa yang diperbuat olehnya dan mata pun tertuju pada sosok Arthur.
Salah seorang pria datang dan menantang Arthur dengan beraninya. Tapi sebenarnya ia adalah korban pertama yang jatuh di tangan lelaki ini dan korban selanjutnya juga akan segera menyusul. “Jangan membuat dirimu menjadi jagoan dengan hanya menghancurkan meja itu. Semua orang juga bisa melakukannya.” Tanpa mendengar ocehan orang tersebut Arthur langsung mendaratkan sebuah pukulan di wajah pria itu. Ia tersungkur ke lantai dengan bersimbah darah. “Jangan berpikir jika itu sebuah pukulan yang keras dariku. Aku masih punya yang lebih hebat jika kalian ingin merasakannya.” Ujar Arthur yang memanasi orang-orang di restauran tersebut. Akibat pernyataan yang ia keluarkan itu semua orang menjadi marah dan mengeroyokinya. “Tunjukkan kehebatanmu bocah setan.” Teriak seorang lelaki dan ia langsung menerima sebuah pukulan yang membuat giginya patah.
Arthur benar-benar memperlihatkan kehebatan dari kekuatannya dan menghabisi mereka semua dengan sekali pukulan saja. Ia menggelengkan kepalanya dengan gaya meremeh. “Sayang sekali jika kalian memang bukanlah levelku.” Lalu salah seorang berteriak dan menyuruhnya untuk diam. “Aku bukanlah bocah setan tapi akulah setan itu.” Suaranya membesar dan matanya memerah saat ia mengatakan itu. Tanpa ampun lagi ia membunuh mereka semua dan juga menghancurkan restaurant itu. Semuanya berantakan akibat ulahnya seorang. Arthur serius jika ia akan membalaskan dendam keluarganya pada kota ini karena ia telah bersumpah dihadapan makam sang ibu.
Dengan mengepal kedua tangannya, ia menyaksikan kematian dan kehancuran restaurant itu. Ini adalah awal darinya untuk melangkah di dunia dendam. Ia akan menyiksa penduduk di Old City ini dan membuat kota ini sengsara. Dengan amarah, benci, kesedihan dan dendamnya, ia gabungkan dalam satu kekuatan yang akan membawanya untuk menghancur leburkan kota tua ini. “Kalian akan melihatnya dan juga merasakannya bagaimana pedihnya hidupku dan keluargaku. Menangislah sebelum aku datang membunuhmu karena kau tidak dapat lagi menangis jika kau sudah mati.”
Saat malam tiba, Jacob datang menemui Arthur. Ia mengetahui jika lelaki ini telah berubah menjadi liar. Ia mencoba memberi nasihat kepadanya agar ia tidak berbuat hal buruk lagi. Namun tidak semudah itu ia lakukan dan bahkan tidak akan pernah membuat Arthur mengubah niatnya. “Jangan menceramahiku.” Ujarnya. Lantas perkataannya membuat pria tua ini marah. “Apa yang membuatmu begitu bangga dengan kekuatan bodoh itu?”
“Tidak ada yang membuatku bangga sebelum mereka merasakan penderitaanku.”
“Bahkan aku belum melihat itu.” Kemudian Arthur memukul tanah dan seketika kota Old City bergoyang seperti gempa. Hal ini membuat Jacob terdiam sejenak dan seolah tidak percaya apa yang telah dilakukan oleh lelaki tersebut. “Kau harus jujur padaku, darimana kekuatan itu berasal?”
“Jika kau percaya dengan semua omongan mereka maka kau tidak perlu bertanya seperti itu lagi.”
“Aku tahu kau orang yang baik dan aku juga yakin jika kau tidak pernah bekerja sama dengan setan demi kekuatan itu.” Arthur memandang pria tua itu, sesungguhnya ia benar-benar tidak akan menyakiti keluarga Jacob, ia tidak ingin melakukannya. “Aku tidak akan menyakiti dirimu dan keluargamu, kecuali mereka membangkang terhadap tindakanku, termasuk dirimu.”
“Maafkanlah mereka Arthur, bahkan ayahmu memiliki sifat pemaaf. Aku sangat yakin jika kau mirip dengannya.” Tapi pria ini telah memilih jalannya sendiri, tidak ada satu orang pun yang dapat menghentikannya. “Terima kasih karena selama ini kau selalu berada di pihak keluargaku.” Arthur pun melangkahkan kakinya meninggalkan Jacob dan semua perkataannya.
Old City kini dalam penderitaan hebat. Puing-puing bangunan yang hancur memperlihatkan kota ini benar-benar dalam kondisi buruk. Jeritan orang-orang terdengar seperti nyanyian dari neraka. Arthur berdiri di sebuah gedung yang besar. Ia melihat keadaan begitu kacau seperti dilanda oleh bencana hebat. Dari atas gedung itu ia melihat seorang pria yang dulu telah membunuh ibunya. Lantas ia menghampiri orang tersebut dan betapa terkejutnya pria itu. Ia berusaha berlari menjauh dari Arthur akan tetapi lelaki ini bergerak sangat cepat dan menghalangi orang itu. Ia mencekik pria itu yang membuatnya susah untuk menjerit meminta pertolongan, bahkan untuk bernapas saja harus berusaha sekuat tenaganya. Lalu Arthur melepas tangannya dari leher pria tersebut. Ia benar-benar marah, “keluarkan kata-katamu seperti saat kau menebas ibuku.” Ia menjambak rambut pria itu dan menjerit mengeluarkan kata-kata kasar. “Maafkan aku, tolong jangan bunuh aku.” Arthur melihatnya dengan mata memerah. Ia memegang pisau dan bersiap menebas pria itu seperti yang dilakukannya pada ibu Arthur. Namun ia tidak melakukannya tapi menarik baju pria tersebut dan mencampakkannya hingga ia berbenturan dengan dinding sebuah gedung.
Arthur kembali menghamipiranya dan melihatnya dalam kondisi lemah. Ia membawanya ke atas sebuah gedung dimana semua orang menyaksikan hal itu dengan penuh ketakutan. Dari atas sana ia membunuh pria itu dengan mencekik lehernya sehingga kepala dan badannya terpisah. Tidak cukup sampai di situ saja, ia juga menghancurkan tubuh pria tersebut menjadi potongan-potongan kecil. Kejadian itu diiringi dengan jeritan histeris semua orang yang menyaksikannya. Ia masih memegang kepala orang itu dan melihatnya dengan tatapan benci dan dendam. Kemudian ia melemparnya dari atas gedung itu yang membuatnya hancur.
Ada beberapa orang menangis dan menderita akibat perbuatan Arthur. Akan tetapi juga ada beberapa orang yang mendukung atas tindakan yang dilakukan lelaki itu. Meraka termasuk orang-orang yang memiliki nasib sama seperti Arthur. Ketakutan mereka seolah dapat dilawan dengan hadirnya putra Lonia tersebut. Rasa benci kepada orang-orang yang telah membuat mereka menderita pun juga seperti terbayarkan. Mereka memujanya karena telah membawa mereka terbebas dari perilaku buruk tersebut.
Jacob tidak bisa percaya jika Arthur telah menghancurkan kota dengan tangannya sendiri. Sebagai orang yang disegani di kota tersebut ia pun membuat keputusan yang begitu sulit. Tidak ada pilihan lain selain menghentikan Arthur. Ia mengumpulkan beberapa orang dan mengatakan bahwa mereka telah melihat semua kejadian yang dilakukan oleh Arthur. “Ia salah satu contoh dari sekian banyak orang yang mengalami nasib buruk dalam hidupnya. Jika kita tidak lagi ingin melihat kehancuran Old City maka kita harus menghentikannya segera.” Sebelum mengambil keputusan utnuk menghentikan lelaki itu, ia ingin semua orang di kota tua ini agar memperlakukan semua orang dengan layak. Tidak ada lagi pelecehan, kekerasan serta pembunuhan yang terjadi. “Cukupkanlah sampai disini saja. Aku orang yang mengenal Arthur dan keluarganya. Jangan sampai orang yang baik seperti dirinya berubah menjadi liar.” Janji itu diterima dengan baik oleh mereka.
Malam tiba dengan badai yang hebat. Saat itu Jacob dan orang-orangnya telah mempersiapkan semuanya. Rasa takut bersama mereka yang akan melawan seorang pria yang memiliki kekuatan luar biasa.
Arthur sedang berada di sebuah lapangan di mana ibunya terbunuh. Di sana ia mengingat semua hal yang terjadi kepada ibunya. Saat itu tiba-tiba saja sesuatu datang dalam pikirannya, seolah memberi semua penjelasan terhadap kehidupan keluarganya pada masa lalu. Ia dapat melihat dengan jelas wajah ayahnya dan juga kedua saudaranya yang masih balita. Semua yang ia rasakan tentang penderitaan, tangisan, jeritan dari keluarganya terhadap penyiksaan warga Old City. Sekarang semuanya menjadi jelas, bagaimana ayah dan kedua saudaranya mati terbunuh dan juga ibunya dalam berjuang untuk hidup dan melindungi Arthur kecil. Sesaat ia tersadar dan menitikkan air mata.
Jacob beserta orang-orangnya telah tiba di lapangan itu. Ia membawa begitu banyak rombongan dan benar-benar tidak menganggap remeh Arthur. Lelaki itu menyadari kehadiran pria tua tersebut. Ia menitikkan air mata dan bersiap menyerang mereka semua. Namun saa itu Jacob datang menghampirinya, ia menjelaskan semuanya dengan sangat lembut kepadanya. “Arthur, tolong hentikan. Kembalilah pada dirimu yang dulu, dengan senyummu dan semangat hidupmu.” Lelaki itu menggelengkan kepalanya dengan mengepal kedua tangannya. “Bersiaplah untuk mati, kalian semua.” Ia juga meminta Jacob untuk tidak ikut campur dan menghalanginya. Namun pria tua itu tidak dengan mudah menerimanya. “Mereka telah berjanji padaku untuk merubah sikap mereka terhadapmu dan juga orang-orang yang bernasib sama sepertimu. Penderitaan yang mereka rasakan selama ini telah sebanding dengan yang kau rasakan.” Arthur benar-benar marah mendengarnya, ia memukul tanah yang menyebabkan Old City bergoyang. “Tidak ada yang peduli terhadap keluargaku. Bahkan mereka telah membencinya sejak dulu. Semua hal yang telah mereka lakukan terhadap keluargaku takkan pernah kumaafkan.” Teriaknya meluapkan amarah pada dirinya.
Berulang kali Jacob memohon pada Arthur akan tetapi tidak mudah untuk menggoyahkan pendiriannya. “Arthur, jika kau tidak ingin berhenti maka aku yang akan menghentikanmu.” Ia kerahkan semua orang itu untuk menyerang lelaki itu.
Arthur tidak tinggal diam, ia juga balik menyerang mereka dengan brutal. Namun kali ini warga Old City bersatu untuk menghentikannya. Segala macam bentuk benda mereka gunakan sebagai senjata. Dengan pengeroyokan seperti ini, membuat lelaki itu marah besar dan mengeluarkan kekuatan yang menakutkan yang membuat orang-orang di sekitarnya terhempas jauh darinya dan mengalami luka parah, bahkan beberapa diantaranya tewas.
Jacob dan orang-orangnya terdiam melihat kekuatan itu. Sejenak terpikir oleh mereka bahwa menyerang Arthur sama saja seperti bunuh diri, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil memukulnya bahkan menyentuhya saja tidak dapat dilakukan. Namun pria tua ini tidak menyerah, ia ingin melindungi kota ini, terlebih lagi mereka semua telah berjanji tidak akan lagi membuat perlakuan buruk terhadap orang-orang yang lebih lemah. Ia memerintahkan semua orang untuk kembali menyerang dan menularkan semangat kepada mereka.
Jika saat pertama kubu Jacob menyerang Arthur terlebih dahulu, kali ini Arthur melakukannya. Ia berlari ke arah mereka dan siap meluluh lantakkan mereka semua. Kejadian itu berlangsung begitu dahsyat. Perlahan tapi pasti, lelaki itu membunuh pasukan Jacob yang membuatnya menjadi sedikit. Saat itu pula Jacob datang, dengan pedangnya ia mengarahkannya kepada Arthur. Namun ia berhasil mengelak dan mundur beberapa langkah dari pria tua itu, ia mengatur pernapasannya. “Apa kau serius? Membunuhku, sebagai satu-satunya yang tersisa dari keluargaku? Kau serius melakukannya setelah kau melindungi keluargaku? Apa artinya bagimu semua itu?”
Arthur benar-benar tidak percaya dengan keseriusan Jacob yang hendak menghentikannya. “Aku sudah berbicara baik-baik denganmu, tapi kau menghindar dan memilih cara pertumpahan darah ini. Aku hanya ingin membuat kota ini menjadi lebih baik.”
“Kau takkan pernah bisa membuatnya jadi lebih baik. Kota ini dipenuhi oleh orang-orang munafik dan juga pengecut. Jangan harap janji mereka dapat terlaksana. Kedamaian takkan pernah ada di kota hina ini.”
“Aku akan membuatnya menjadi nyata.” Perkataan Jacob itu seolah menjadi penyemangat bagi mereka. Namun tetap saja, dengan kekacauan seperti ini mereka juga masih tidak bisa memberi sebuah pukulan kepada Arthur. Hanya Jacob yang dapat melawannya, bisa dikatakan mereka lawan yang seimbang. Pria tua itu terus-menerus melancarkan serangan dengan pedangnya, sementara Arthur mengelaknya dengan sempurna. Pada satu kesempatan, lelaki ini memiliki kans untuk membunuh Jacob, tapi niat itu urung dilakukan karena pria tua itulah yang selalu berada di samping keluarganya. Sekilas dalam pikirannya ia melihat Jacob hadir saat keluarganya di kepung. Berbagai tindakan ia lakukan demi menyelamatkan keluarga Arthur. Lelaki ini juga melihat ayahnya yang menjerit dan meminta Jacob membawa pergi Lonia ke tempat yang aman. Semuanya dapat ia lihat dan rasakan bagaimana perjuangan pria tua itu terhadap keluarganya.
Tangannya yang sudah mengepal dan siap memberi sebuah pukulan kepada Jacob seolah tak dapat ia gerakkan. Ia mengerti dan tak seharusnya ia menyakiti pria tua itu. Dalam kondisi seperti itu, seolah memberi kesempatan kepada Jacob untuk menyerangnya dan ia berhasil menusuk lelaki itu dengan pedangnya tepat di dadanya.
Arthur berlutut tak berdaya di hadapan Jacob. Ia melihat sosok pria tua itu, kedua tangannya memegangi pedang tersebut. Semua orang membisu melihatnya, mereka tidak percaya jika seorang pria tua mampu melawan lelaki itu dengan sebuah pedang yang sederhana.
Arthur terbaring lemah di atas tanah, sedangkan Jacob memegangi kepalanya. Lelaki itu menitikkan air matanya, “aku harus menerima ini, semua kenyataan yang telah kualami.” Pria tua itu melihat kondisi Arthur dengan sedih, lelaki itu dalam keadaan kritis sekarang. Darah terus-menerus mengucur keluar dari mulut dan dadanya. “Maafkan aku, tidak seharusnya aku melakukan ini.” Pria tua itu menyesalinya, sungguh. Namun Arthur tersenyum, “semua hal yang kau lakukan untuk melindungi kota ini harus tercapai. Tapi tetap saja membuatku tidak yakin dengan hal itu karena mereka.” Ia memaksakan dirinya untuk berbicara.
“Selama ini aku berusaha melawan ketakutanku, dan aku berhasil. Tapi aku tidak bisa melindungi ibuku, orang yang sangat kucintai. Aku telah bersumpah untuk membalaskan dendamku tapi sepertinya kehidupan keluargaku tidak akan pernah menjadi manis.”
Jacob menangisinya, “Kau seorang yang hebat, aku tahu. Aku yakin jika ibumu sangat bangga padamu karena dia tahu kau selalu ada untuk melindunginya. Aku menyesal telah melakukan ini padamu.” Namun Arthur tersenyum dan tidak terlalu mempermasalahkannya. “Tidak ada yang perlu kau sesali. Bahkan aku berterima kasih karena kau selalu berada dipihak keluargaku. Kini semuanya sudah tidak ada artinya lagi. Aku akan mati bersama dengan dendamku ini. Jika saja aku mati dalam keadaan damai bersama keluargaku, tapi semuanya berakhir seperti ini bukan?” Kondisi Arthur semakin melemah dan ia tahu dengan segera ia akan mati.
“Aku yang sama sekali tidak bisa menyakitimu. Kau harus memegang prinsipmu jika memang ingin mengubah kota ini. Aku berharap dapat kembali lagi ke kota ini. Memang terdengar bodoh, tapi aku mati dalam keadaan dendam dan aku ingin membalasnya karena semua belum berakhir. Karena, kota ini tidak akan pernah bisa merasakan perdamaian.” Arthur pun menghembuska napas terakhirnya.
Semua orang bersorak gembira dengan kematian lelaki itu. Seorang lelaki yang telah membuat banyak orang tewas dan merusak kota akhirnya berakhir di tangan seorang pria tua yang selama ini selalu membela keluarganya, Jacob Jacopolo. “Aku sangat menyayangimu Arthur.” Ia menangisi kematian lelaki itu. Tidak ada hal yang dapat ia lakukan untuk menghentikannya selain membunuhnya. Ia telah melakukannya dengan hormat walaupun tersisa begitu banyak penyesalan dalam dirinya, di mana ia gagal untuk melindungi Mark beserta keluarganya.
Keesokan harinya Arthur dimakamkan di sebuah tempat pemakaman umum, sebuah pemakaman di kota Old City. Tidak ada orang yang benar-benar bersedih atas kematian lelaki itu kecuali Jacob dan keluarganya. Saat itu pagi disambut dengan kicauan burung-burung. Entah burung-burung itu juga bersedih atau tertawa bahagia, namun itu seperti pertanda jika Old City akan tetap di hantui oleh Arthur. Entah itu kekuatannya atau perasaan mereka yang selalu diselimuti dengan dendam lelaki itu.
Masih banyak orang-orang yang dikucilkan dan mendapat penyiksaan. Tangisan dan jeritan berharap kebebasan dan perdamaian yang selama ini mereka rindukan. Mungkin ini akan menjadi awal dimana mereka akan merasakan sesuatu. Rasa takut itu seakan kian menjadi nyata bagi Old City, sebuah kota tua yang penuh dengan sejarah ini.
Saat semuanya sedang terlelap dalam tidur mereka, atau tertawa bahagia bersama teman dan keluarga masing-masing, kegelapan akan selalu berada diantara mereka dan kelak akan menggabungkan diri mereka menjadi sebuah kekuatan yang sangat ditakuti. Old City hanya perlu menunggu. Biarkanlah mereka yang dikucilkan itu menangis dan menjerit sekuat-kuatnya, karena dendam yang sesungguhnya akan segera tiba.
“Mereka tidak akan pernah mengerti mengapa aku melakukan hal ini. Aku sangat menyayangi ibuku, karena dialah satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Izinkan aku melihat senyuman di bibirnya. Sungguh, senyumannya yang membuatku kuat.”
Bersambung…
Reza Fahlevi
Comments
Post a Comment