![]() |
Foto: pexels.com |
Viony memutuskan keluar di tengah-tengah malam. Dengan jaket hitam tebal serta ransel bergambar Dora, ia melangkah berlalu dari rumahnya. Malam ini terasa sangat tenang dan teduh. Tapi sunyinya jalanan membuat suasana sedikit mencekam, belum lagi terdengar suara anjing-anjing yang bersautan seolah membuntuti langkah gadis ini ke manapun ia pergi.
Sekitar lima belas menit ia berjalan seorang diri, akhirnya Viony berhenti, matanya menatap ke sebuah rumah besar yang juga mewah. Tepat di bawah sinar bulan purnama yang bercahaya begitu terang dalam kegelapan, ia menutup matanya. Terlihat dari kedua wajahnya, mengalir air mata yang tanpa diduga-duga itu.
Tak lama kemudian Viony mengusap wajahnya yang sedikit basah. Ia lalu melanjutkan perjalanan.
Di sisi lain dari rumah mewah yang tadi, seorang gadis bernama Halwa, teman satu kampus Viony terbangun dari tidur, terkejut begitu saja seperti dirinya baru saja bermimpi buruk. Napasnya sedikit terengah, tapi tak lama kemudian kembali normal.
Ia keluar dari kamar dan berjalan ke dapur untuk minum. Dehidrasi membuatnya sulit untuk kembali tidur.
Ctek...
Halwa menghidupkan lampu, mengambil sebuah gelas dari rak, lalu menuangkan air putih hangat dari dalam termos yang ada di atas meja makan.
Glup glup glup
Halwa meleha melepas dahaga. Rasanya memang begitu nikmat.
Tanpa berlama-lama ia lalu meletakkan gelas di atas meja makan. Dan begitu ia balik,
Praangg...
Gelas itu pecah tersenggol sikutnya. Dan Halwa dikejutkan dengan hadirnya Viony tepat di hadapannya.
"Viony, kok kamu ada di sini...? Kenapa...?"
Halwa sama sekali tak mengerti. Dalam beberapa detik ia mengira ini mimpi. Tapi, sebisa mungkin ia berusaha untuk tersadar dari mimpinya, ia tak bisa.
Halwa tidak sedang bermimpi.
"Viony... jawaaab..." spontan suara Halwa membesar.
Viony tak menyahut apa-apa. Dengan sedikit senyuman, ia menampakkan sebuah pisau belati yang dari tadi sudah dalam genggaman tangan kanannya.
Terkejut!
Halwa mencoba menjerit dan berlari. Tapi, belum pun sempat ia melakukan dua hal itu, Viony langsung mendekat dan menikam temannya bertubi-tubi.
Serangan mendadak itu tak kuasa dihindari oleh Halwa, ia menerima tikaman tanpa bisa berlindung sedikitpun. Perutnya koyak, lehernya tergorok parah, bahkan empat jari tangan kanannya nyaris putus ketika wanita ini mencoba menahan laju pisau mungil tersebut saat Viony melayangkan tikaman ketiga ke perut temannya.
Rembesan darah tak bisa berhenti, Halwa tersungkur ke lantai dalam posisi terbaring. Ia benar-benar sekarat sekarang ini.
Di saat itu pula Viony mengambil seutas tali, sedikit panjang, lalu ia lilitkan di kaki winta tersebut. Tanpa sedikitpun keributan gadis ini menarik tubuh Halwa ke arah kamarnya. Darah berserakan di sepanjang jalannya menuju ke sana.
Begitu tiba di kamar Halwa, Viony langsung keluar dari jendela. Ternyata, ia masuk dari situ, tepat setelah temannya pergi ke dapur.
Gadis ini juga membawa tubuh Halwa ke suatu tempat. Di bawah sinar lampu-lampu jalanan, ia berjalan sambil menarik wanita itu yang napasnya telah sampai diujung. Dapat diperkirakan Halwa hanya menunggu beberapa menit saja menuju kematiannya.
Nyaris tak ada seorangpun di jalan, dan Viony berjalan santai saja tanpa ada rasa khawatir sama sekali. Tak lama setelah itu, ia kembali berhenti di sebuah rumah. Kali ini milik wanita bernama Shella, teman Viony juga.
Ia mengambil sebuah teropong untuk melihat keadaan di dalam rumah. Dari setiap kamar yang disasarnya, semua tertutupi oleh gorden, membuat Viony kesulitan untuk memutuskan masuk dari kamar mana.
Tidak seperti kasus Halwa, kamarnya pada saat itu tidak ditutupi gorden, walaupun biasanya gadis itu selalu menutup jendela kamarnya dengan tirai berwarna hijau.
Viony menatap Halwa yang sudah tidak bernapas lagi.
"Tunggu di sini ya... aku mau jemput kawan kamu satu lagi. Gak lama, kok..." Kata gadis ini sambil tersenyum di depan jasad Halwa.
Langkah per langkah ia lalui. Mulai dari memanjat pagar rumah Shella, ia berjalan tenang di halaman rumah wanita itu. Oleh karena ia tak tahu di mana letak kamar Shella, Viony pun memilih masuk dari pintu depan.
Ia mencongkel pintu itu dengan sangat sempurna. Tanpa hambatan sedikitpun, pintu terbuka dan Viony mulai leluasa menelusuri rumah temannya. Satu per satu kamar dimasukinya yang kebetulan tidak terkunci.
Setelah tiga kamar yang ia coba, akhirnya di kamar ke empat, Viony menemukan Shella. Gadis itu tertidur pulas dengan AC yang menyejukkan kondisi kamar.
Viony mengambil sebuah tali lainnya, lalu masuk mendekati Shella di ranjang, dan duduk tepat di belakang kepala gadis itu. Tanpa ampun ia menyekik leher wanita tersebut sekuat-kuatnya menggunakan tali tadi.
Shella tersadar dan coba untuk melawan. Namun usahanya itu sia-sia sebab kini kekuatan benar-benar menjadi milik Viony. Tapi gadis ini tak ingin menyerah, sebisa mungkin ia berontak.
Kesal!!!
Viony lalu memaksa Shella terduduk dengan menjambak rambut temannya. Dalam waktu dua menit, Viony menyadari jika kini Shella sudah diambang ketidaksadaran.
Di waktu itu pula, ia membalikkan tubuh temannya itu yang semula duduk di belakangnya, kini mereka saling berhadapan. Membiarkan Shella melihat siapa orang yang mencekiknya.
"Hai..." ujar Viony tersenyum.
Shella tak bisa lagi berlagak terkejut sebab tubuhnya benar-benar lemah. Tinggal hitungan beberapa detik saja, gadis ini akan menuju kepada kematian.
"Ssshhhtt, ga apa. Ini cuma sebentar kok, nanti kamu bakalan tidur lagi, percaya aja..." kata Viony lagi.
Sesaat kemudian Shella meninggal dunia. Lagi-lagi Viony kembali tersenyum sumringah. Entah apa yang ada di dalam hatinya. Seakan ia menjelma menjadi iblis di tengah malam.
Setelah itu, ia membawa jasad Shella keluar. Aksinya ini benar-benar tidak diketahui oleh keluarga temannya itu. Seolah-olah Viony adalah pembunuh yang sudah mahir melakukan kejahatannya.
Gadis ini terus berjalan menuju kampus dengan menarik jasad Halwa dan Shella menggunakan tali. Ia berjalan dari arah belakang agar para satpam yang sedang berjaga tidak mengetahuinya. Dengan keadaan kampus yang agak gelap, sebab tidak semua lampu menyala, Viony melewati setiap ruangan menggunakan senter hingga akhirnya ia berhenti di sebuah kelas C1.08. Di sinilah aksi selanjutnya kembali berlanjut.
Pertama, ia memukul dua paku tepat di depan ruangan tersebut dengan sebuah batu yang tidak terlalu besar namun sangat padat, entah dari mana ia dapatkan itu. Lalu, ia lilitkan dua tali ke paku-paku itu yang semula berada di kaki Halwa, satunya lagi terlilit di leher Shella. Viony membuat lubang di setiap tali-nya kemudian mengangkat tubuh Shella dan digantunglah kepala gadis itu pada tali tadi. Hal yang sama juga ia lakukan kepada jasad Halwa.
"Yaap, selesai deh..." kata Viony senang.
Saat ia hendak pergi, tiba-tiba Viony teringat sesuatu. Ia kembali mendekati jasad kedua temannya dan membuka pakaian mereka hingga tak ada satu helai benang pun di tubuh Shella dan Halwa.
Bersamaan dengan itu pula, Viony meletakkan selembar kertas yang dilekatkan di sela-sela leher Halwa. Kertas itu berisi sebuah surat yang ditulis oleh Viony saat sebelum dirinya menuju ke rumah Halwa.
"Mimpi indah yaa kalian, aku pamit dulu."
Viony pun pergi berlalu. Pada langkahnya yang ke lima, ia menoleh ke belakang,
"Kejahatan kalian udah aku maafin. Pokoknya aku sayang banget deh sama kalian berdua..."
Viony tertawa terbahak sambil berjalan pergi dari kampus.
***
Viony adalah mahasiswi di kampus Kuta Banda. Ia dikenal sebagai gadis pendiam oleh teman-temannya. Kedua orang tuanya sudah bercerai saat dirinya masih bersekolah, tepatnya di SMA. Sejak saat itu ia memilih untuk tinggal sendirian walaupun mamanya sudah berulang kali memintanya untuk tinggal bersama.
Alasan Viony tak ingin hidup bersama salah satu orang tuanya sebab ia masih merasa benci setiap saat dirinya teringat ayah dan mamanya saling ribut. Apalagi ia melihat sendiri dengan kedua matanya mereka bertengkar.
Atas hal itu pula ia lebih sering menyendiri. Satu sisi ia ingin menghabiskan waktu bersama ayah dan mama seperti kebanyakan teman-temannya. Tapi di sisi lain, kenyataan yang harus diterima adalah berpisahnya mereka yang mana semua itu membuat Viony malah sangat tertekan.
Hari-harinya di kampus pun tak jauh berbeda. Kepribadiannya yang diam membuat sebagian teman-teman Viony membuli gadis ini. Dari sekian banyak teman kampusnya, hanya Halwa dan Shella yang membuli wanita ini secara berlebihan.
Mereka berdua tak pernah ragu menyiksa Viony. Mulai dari berkata kasar, pelecehan, melakukan body shaming, sampai memukuli gadis ini. Bahkan Viony pernah beberapa kali dibuat malu dengan cara menelanjangi wanita ini. Baik Shella dan Halwa kompak melakukan aksi ini di depan teman lainnya.
Kejadiannya di ruangan C1.08, tepat setelah kuliah selesai, tanpa ada sebab apapun, mereka berdua menarik Viony ke depan kelas. Pukulan dan tamparan silih berganti menghantam gadis tersebut.
Viony mencoba melawan walaupun sia-sia sampai-sampai bajunya robek. Mengetahui itu, Halwa dan Shella malah memaksa wanita ini untuk melepaskan pakaiannya hingga hanya menyisakan dalaman saja.
Tak ada yang dapat dilakukan oleh wanita itu selain menahan rasa malu. Betapa tidak, ia ditelanjangi di depan orang-orang yang hampir semua dari mereka tertawa melihat hal tersebut.
Tak sampai di situ, Halwa dan Shella bahkan tak ragu untuk membuka paksa pakaian dalam Viony. Di saat sepertinya tak ada seorang pun yang ingin membantu, tiba-tiba seorang lelaki bernama Zaky datang. Dengan satu tatapan matanya yang penuh amarah saat itu, cukup membuat Halwa dan Shella menghentikan perbuatan mereka.
Lelaki itu juga memberikan jaketnya kepada Viony sebagai ganti pakaiannya yang telah sobek. Tanpa banyak berbicara, ia langsung menuntun gadis ini pergi dari kampus. Dengan berlinang air mata, gadis tersebut pulang ke rumah yang ditemani oleh Zaky.
Bullyan ini membuat hidup Viony semakin tak karuan. Ia merasa diri tak berguna dan sudah beberapa kali mencoba untuk bunuh diri walaupun pada akhirnya tidak kesampaian.
Tapi seiring berjalannya waktu, Viony pun berubah. Tekanan hidup yang rasanya sudah tak sanggup lagi dihadapi, juga perasaan hampa yang semakin tidak menentu, perlahan membawa diri gadis ini ke arah kesesatan.
Rasa amarah dan dendam, serta kebenciannya terhadap teman-teman dan orang tuanya seolah meluap membakar aliran darah di dalam tubuhnya. Sakit yang telah terpendam bertahun-tahun akhirnya bergejolak. Dan Viony tak dapat mengontrol itu hingga ia terus mengikuti kemauan amarahnya, ia terbelenggu di balik rasa dendam. Semua itu sudah cukup membuat Viony untuk berubah.
Ia memutuskan untuk membalas dendam. Maka pada suatu malam, ia sudah mempersiapkan segalanya untuk membunuh Halwa dan Shella tanpa ada keraguan sedikitpun.
Adalah psycho yang telah bermain peran. Itu terlihat jelas saat ia merasa sangat bahagia setelah membunuh kedua temannya tersebut. Tak cukup sampai di situ, ia bahkan menggantung tubuh Halwa dan Shella di kelas C1.08, pun dirinya juga menelanjangi kedua jasad temannya. Ia melakukan aksi itu persis seperti yang pernah dilakukan oleh kedua gadis tersebut padanya. Walaupun perbuatan yang dilakukan oleh Viony sungguh sangat kejam dan keji.
Tepat sebelum ia membunuh dua temannya, Viony menulis sebuah surat. Surat itu berisikan semua perasaannya selama menjalani kuliah di kampus Kuta Banda.
Dan seminggu setelah pembunuhan itu Viony akhirnya ditangkap dan dihukum penjara seumur hidup. Tak ada pembelaan dari gadis ini, ia mengakui perbuatannya. Bahkan Viony sama sekali tak menyesal telah membunuh Halwa dan Shella.
Jiwa membunuh telah hidup dalam diri gadis ini. Di dalam sel pun ia sudah beberapa kali mencoba membunuh tahanan lainnya. Hingga pada akhirnya ia dijatuhi hukuman mati setelah berhasil membunuh tiga tahanan dan seorang petugas.
"Jiwaku sudah lama mati, mungkin juga sudah saatnya tubuhku ini mati..."
Itulah kata-kata terakhir Viony sebelum dirinya dieksekusi.
Hidup Viony sudah hancur saat kedua orang tuanya bercerai dan semakin remuk ketika bullyan tanpa henti menyiksa batin serta tubuhnya. Gadis yang dulunya selalu ingin menjadi seorang guru Bimbingan Konseling, tapi, tekanan yang tak sanggup lagi dihadapi, membuat Viony menjadi seorang pembunuh psycho.
Cita-cita Viony hanya menjadi tulisan dalam sebuah surat yang ia tulis sebelum membunuh Halwa dan Shella.
"Ini adalah pesan... suara hatiku. Terima kasih sudah menempatkanku ke dalam sebuah ruang tekanan. Kau membully-ku tanpa ada sebab apapun. Kau menertawakan ku yang sedang menangis, kau membuatku semakin terpuruk, dan kalian tak peduli sama sekali tentang perasaanku. Bukanlah kemauanku untuk menuruti dendam ini, tapi saat kau... saat kalian hanya menambah luka lainnya padaku, aku sudah tak sanggup lagi menahan beban ini. Tak cukup bagi kau... bagi kalian, melihatku yang telah hancur karena orang tuaku bercerai. Terima kasih sudah membuyarkan masa depanku, terima kasih telah mengotori cita-citaku. Aku sudah tak mengerti lagi alur kehidupan ini, yang ku tahu adalah melakukan apa yang ku rasa senang dalam diriku, dan yang senang itu adalah saat aku membayangi kalian terbunuh olehku. Ya... aku bahagia membunuh kalian semua. Apabila yang ku lakukan ini hanya menyakiti kalian, datang dan tangkaplah aku. Atau, bunuh saja diriku ini karna kini aku hanya menjadi sampah. Jika aku tak terbunuh, aku takkan pernah berhenti membunuh, karna sekarang ini itulah cita-citaku, meskipun aku tak pernah menginginkannya. Aku memilih bahagia menjadi pembunuh karna kalian yang meminta. Tapi, jangan salah. Aku tetap menyayangi kalian semua seperti halnya kalian membenciku. Begitulah kehidupanku..."
Ttd. Viony Irna
***
-Breaking Reza
Comments
Post a Comment