![]() |
Foto: pexels.com |
Bagian I
Pukul dua belas malam. Sialan, sudah tiga hari berturut-turut aku harus memaksa menyelesaikan pekerjaan kantorku selarut ini. Dan sepertinya aku harus seperti ini hingga beberapa hari ke depan. Lelah? Sangat. Tapi apa boleh buat, jika tidak ku selesaikan, atasanku pasti akan mengobok-obokku dengan ceramahnya yang sudah begitu muak ku dengar.
Lima menit kemudian aku bergegas pulang. Lagi-lagi aku harus mengganggu waktu istirahat istriku. Jarak kantor dan rumahku lumayan jauh, butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai tujuan, itu pun sudah dengan kecepatan lebih dari 90 km. Belum lagi motor yang ku pakai sudah agak tua.
Setelah urusanku selesai, aku langsung keluar dari ruangan, mengunci pintu dan berjalan menuju parkiran. Ruang kerjaku berada di lantai dua dan ribet juga berjalan dari sini ke parkiran sebab lift yang biasa digunakan oleh para karyawan sedang tidak dalam kondisi bersahabat. Memang tidak bisa dikatakan rusak juga, tapi aku lebih memilih turun dari tangga karena terkadang pintu lift itu macet-macet.
Aku sendirian di dalam kantor, setiap ruangan yang ku lewati sudah gelap kecuali ruangan Angga, yang masih terang. Mungkin dia lupa mematikan lampu saat pulang sore tadi. Saat berjalan tepat di ruangan temanku ini, aku baru menyadari bahwa aku juga lupa mematikan lampu ruanganku.
Ahhh, sialan. Hendak kembali tapi aku juga malas karena sekarang aku sudah berada di lantai satu. Tak apalah, sesekali aku tak mematikan lampu. Palingan besok aku bakal diceramahi. Lagi pula aku merasa sudah sedikit kebal dengan ocehan yang tak berguna itu.
Saat tiba di lobi, aku mendengar suara, asalnya dari ruangan Angga. Aku tak tahu apa kantorku ini angker atau tidak, tapi rekan-rekan kerjaku beberapa kali pernah mengalami pengalaman yang menyeramkan, termasuk Angga sendiri. Dan atas dasar itu pula ia tak pernah mau melanjutkan pekerjaannya di kantor sampai larut malam. Dari pada di kantor, ia lebih suka bekerja di warkop.
Dan sepertinya, keangkeran kantorku ini bukan fiktif belaka. Suara yang ku dengar dari ruangan Angga menandakan seolah-olah ada orang di dalam ruangan itu. Padahal saat aku melewati ruangan tersebut, dapat ku pastikan tak ada seorang pun di dalam.
Rasa penasaranku timbul, entah mengapa aku kembali ke ruangan Angga dan memastikan suara apa tadi. Mataku melirik-lirik ke dalam sana dan saat ku arahkan pandanganku ke meja kerja temanku ini, tertangkap bayangan hitam yang tak begitu jelas bentuknya.
Aku tiba-tiba merinding. Apa itu? Benarkah setan? Aku mencoba membuka pintu ruangannya, tapi terkunci. Sejenak aku berpikir, jika pintu ini terkunci, apakah mungkin ada orang di dalamnya? Jika pun ada dari mana dia masuk? Sedangkan saat aku mengecek isi ruangan tak satupun aku melihat ada tanda-tanda orang yang masuk. Lalu, benarkah itu setan???
Tanpa berpikir panjang aku bergegas pergi dan langsung menuju parkiran. Sialan, baru kali ini aku merasa sangat takut. Ku yakini saat itu wajahku pasti pucat. Bahkan lututku pun gemetar tak karuan.
Sampai di parkiran, segera ku nyalakan motor. Saat aku berada di depan gerbang kantorku, posisinya tepat di pos satpam, aku tidak melihat siapa-siapa di pos jaga ini. Padahal seharusnya tiga orang satpam sedang bertugas jaga malam. Ke mana mereka? Kenapa pos kosong, jika atasan mereka tahu kejadian ini, mereka bertiga pasti langsung dipecat.
Ahh, kurang kerjaan pikirku jika memikirkan mereka. Pokoknya sekarang aku harus segera pulang. Tapi tak lama kemudian...
"Toloooongg..."
Suara jeritan... laki-laki...
"Jangaaaann..."
Lagi lagi... apa yang harus ku lakukan?
Dalam kondisi panik, aku berusaha untuk tetap tenang. Ku pastikan itu memang suara manusia, bukan suara setan yang mencoba mengelabuiku. Ku ambil hp dan menelpon salah satu satpam yang berjaga. Tapi berulang kali ku hubungi, tak ada jawaban.
Aku tak boleh panik, pokoknya jangan panik.
Tanpa ku sengaja ku dapati sebuah pentungan di pos satpam itu. Mungkin milik salah satu dari mereka. Ku ambil pentungan tersebut dan memberanikan diri untuk melihat keadaan.
Dari suara yang terdengar tadi, dapat ku pastikan asalnya dari luar kantor. Apakah maling? Jika benar, maka bayangan yang ku lihat di ruangan Angga tadi adalah maling. Perlahan perasaanku sedikit tenang karena bisa saja maling itu sudah diatasi oleh para satpam. Tapi tetap saja aku tak boleh meremehkan ini. Lagipula, maling sekarang beraksi dengan senjata yang lengkap sebagai persiapan.
Aku berlari ke arah belakang kantor. Setelah ku telusuri hampir semua bagian luar tempat kerjaku ini, aku terlejut. Dua satpam tergeletak bersimbah darah di sana. Seketika pentungan yang ku pegang tadi terlepas begitu saja.
Apa ini??? Kini aku panik bukan main.
Seorang satpam masih bergerak dan segera ku hampiri dirinya.
"Dan... Dan..."
"B... Bb... Ben... ny.... to...long"
Suaranya terputus-putus. Tubuh satpam ini penuh dengan luka tusukan sedangkan yang satunya lagi... tak ada tanda-tanda dia masih hidup.
"Danii... bertahan. Pokoknya kau harus bertahan..."
Dalam situasi seperti ini, aku bingung harus apa. Aku sendirian di sini, di mana satpam yang satunya lagi. Seharusnya mereka bertiga.
"Pembunuh... di...a ppem...bu...nuh"
Tak ku sangka Dani mengembuskan napas terakhir. Ia meninggal... mereka berdua meninggal. Aku tak kuasa menahan tangisan.
"Sialan kau Jozaaa..." teriakku spontan.
Joza adalah rekan mereka. Dapat ku pastikan pasti dia-lah pelakunya. Dan bayangan hitam yang ku lihat di ruangan Angga pastilah dirinya. Bisa saja Joza mencari sesuatu di ruangan tersebut dan tanpa disadari kepergok oleh dua rekannya. Oleh karena itu ia membunuh dua rekannya ini. Tapi, ini hanya asumsi saja. Bagaimanapun juga, Joza tidak ada di sini. Terlebih lagi tadi Dani bilang "dia pembunuh". Tujuanku hanya ke Joza, aku mungkin pantas mencurigainya.
***
Esok paginya, dua jenazah satpam yang terbunuh tadi malam sudah dibawa ke rumah sakit untuk dicek. Nantinya, setelah hasil pengecekan keluar, para polisi dapat menyumpulkan dugaan sementara apa motif sebenarnya dari pembunuhan ini. Hingga sekarang, pelaku belum diketahui siapa, ia menghilang dengan cepat setelah membunuh Dani dan Hendra.
Aku pribadi masih mencurigai Joza sebab, hanya dirinya yang tidak ada di kantor tadi malam. Bahkan pun sampai sekarang keberadaannya tidak diketahui.
Untuk Joza, aku sudah melapor pada atasan tertinggiku di kantor juga kepada para polisi. Aku juga sudah memberikan bukti berupa foto lelaki itu. Seperti dugaanku, atasan, rekan kerjaku, bahkan para polisi pun untuk saat ini memutuskan bahwa Joza ditetapkan sebagai DPO. Dalam waktu dekat apabila ia ditemukan, statusnya bisa saja menjadi tersangka. Apapun itu, bukti sementara hanya ada nama Joza.
Aku sendiri sempat dipanggil oleh polisi untuk memberikan penjelasan tentang kejadian tadi malam. Sialan memang, karena kasus pembunuhan ini, aku sampai tidak bisa tidur. Bagaimana mungkin aku bisa tidur saat aku melihat langsung dua korban bersimbah darah dan mati tepat di hadapanku. Jangankan tidur, untuk menenangkan diri saja aku tidak bisa.
Setelah pemeriksaanku selesai selama sekitar satu jam, aku memilih untuk kembali ke kantor dan melihat keadaan di sana. Begitu tiba di sana, ternyata Fitri, istriku, sudah menantiku. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia sangat khawatir.
Dan aku langsung datang memeluknya. Aku mencoba menenangkan istriku bahwa semua sudah baik-baik saja. Itu ku lakukan agar dia tidak lagi khawatir. Padahal, aku sendiri belum sepenuhnya pulih terutama mentalku.
"Kan udah abang bilang gak perlu ke sini..." ujarku pada Fitri.
"Mana mungkin bisa. Abang kira Fitri bisa tenang gitu apa...?" sahut istriku ini, aku hanya tersenyum saja.
Setelah ku temukan Dani dan Hendra, aku langsung menelpon Angga dan lainnya. Dari mereka lalu menghubungi polisi, aku tak tahu pasti siapa yang menghubungi mereka. Begitu para polisi datang, mereka langsung melihat-lihat keadaan di setiap sudut kantorku. Tapi memang pembunuhnya sudah melarikan diri.
Saat itulah, sekitar jam 3 dini hari, aku menelpon istriku tapi tidak dijawab. Lalu satu jam kemudian Fitri menelponku balik, kemudian ku jelaskan semua padanya.
"Sama siapa datang?" Tanyaku pada Fitri.
"Sendirian..." jawabnya.
Aku mengangguk. Fitri dan aku baru saja menikah sekitar enam bulan yang lalu. Ya bisa dibilang kami ini pengantin baru.
Saat sedang berbincang-bincang di halaman depan kantor, Angga datang menghampiri kami. Sepertinya ia baru saja tiba.
"Gimana? Aman?" Tanya rekanku ini.
Aku mengangguk.
"Prosesnya bakal terus berlangsung, kita tunggu saja ke depannya gimana. Yaa semoga cepat bereslah kasus ini..." sahutku.
"Ya semoga. Dah lah, lebih baik kau pulang saja, istirahat. Serahkan yang di sini sama kami."
Aku mengangguk lagi.
Awalnya aku belum niat pulang, tapi karena Fitri malah datang ke kantorku, aku jadi ingin pulang saja. Lagian suasana di sini tidak bersahabat sama sekali dengan pikiranku. Mungkin di rumah bersama Fitri, aku bisa jadi lebih baik.
"Yoo, kalo ada apa-apa telpon ya..." kataku pada Angga.
"Siip, kau juga..." sahutnya sambil membakar rokok.
Tanpa berlama aku dan Fitri bergegas pulang. Berbarengan dengan itu pula rekan-rekanku yang lain pada berlarian ke dalam kantor. Bahkan beberapa polisi juga terlihat buru-buru berjalan masuk ke kantor.
Sepertinya ada hal genting. Aku bertanya pada Angga apa yang terjadi, tapi dia menggelengkan kepala pertanda dirinya pun tidak mengetahui apa yang terjadi.
Temanku ini akhirnya memilih masuk juga, aku pun mengukutinya, sedangkan Fitri ku suruh tunggu di lobi bersama karyawati kantorku lainnya.
Aku dan Angga terus mengikuti ke mana polisi berjalan. Dan ternyata mereka malah menuju ke ruangan Angga.
Temanku ini langsung masuk ke ruangannya, tak lama kemudian, raut wajahnya terkejut sambil kedua tangan menutupi mulut. Aku sendiri penasaran dan melihat sendiri keadaan di dalam.
Begitu terkejut diriku, ternyata ada mayat. Mukanya dipenuhi luka bekas irisan pisau.
Siapa???
Aku tak tahu. Yang jelas, bau busuk dari jenazah tersebut benar-benar menusuk hidung. Apa-apaan ini...
"Ada yang kenal dengan orang ini?" Tanya seorang polisi.
"Dia satpam kantor ini. Mungkin Joza..." sahut seorang wanita yang juga rekan kerjaku. Lagi-lagi aku terkejut.
Apaaa...? Joza? Yang benar saja, ujarku membatin.
Tapi, perempuan ini meyakini kami semua dengan perkataannya yaitu seragam satpam yang dikenakan oleh jenazah tersebut, meskipun sudah sobek-sobek. Selain itu juga, rekanku ini seakan tanda dengan model rambut Joza yang agak sedikit botak, meskipun tak sedikit dari kami yang ragu sebab wajah dari jenazah ini memang sulit untuk dikenali oleh karena luka-luka tersebut.
Akan tetapi, seragam satpam-lah yang membuat kami yakin jika jasad ini adalah Joza.
Seorang polisi lalu mengecek jasad tersebut. Ku perhatikan saja apa yang dilakukan oleh orang itu. Dari yang kudapati, dapat ku yakini jari-jari jenazah itu tidak lengkap. Jempol kiri dan telunjuk kanannya putus.
"Iya itu Joza. Di seragamnya masih ada keliatan nama dia walaupun udah robek setengah..." aku mendengar bisikan dari teman-teman kantorku.
Kini, aku mulai yakin bahwa jenazah itu adalah Joza. Tidak diragukan lagi.
Begitu polisi tersebut membuka seragam yang dikenakan Joza, betapa terkejutnya kami, dadanya robek dan bahkan jantungnya pun tidak ada. Sungguh pembunuhan yang sangat kejam.
Angga sudah tak sanggup lagi melihat ini, ia langsung keluar dengan wajah yang sangat-sangat pucat. Mungkin, baru kali ini ia melihat mayat. Apalagi mayatnya berada di ruangan dirinya bekerja.
Aku sendiri tak habis pikir. Joza yang hilang semalam ternyata juga dihabisi. Maka, asumsiku terhadap satpam ini salah. Sepertinya, Joza sudah dibunuh lebih dulu sebelum dua rekannya yang lain.
Sekarang mayat Joza ditemukan, lalu yang menjadi pertanyaan adalah, siapa sebenarnya pelaku pembunuhan ini? Juga apa motifnya? Aku menjadi sangat tidak paham.
Dan lagi, dapat ku yakini bahwa diriku sendiri pun pasti sudah menjadi target si pembunuh itu. Ya, pasti dia juga mengincarku tadi malam. Tapi aku sangat bersyukur tidak menjadi mangsanya.
Dani, Hendra, dan sekarang Joza. Ketiga satpam yang berjaga tadi malam tewas. Sekarang aku baru menyadari bahwa bayangan hitam yang ku lihat di ruangan Angga adalah si pembunuh itu. Bisa saja dia sedang membunuh Joza atau menyembunyikan jasad satpam itu ke ruangan Angga.
Walau bagaimanapun juga, ku yakini bahwa pembunuh ini bukanlah orang sembarangan. Dia benar-benar orang yang terlatih, lebih tepatnya seseorang yang sudah banyak melakukan pembunuhan. Jika tidak, mana mungkin aksinya ini begitu cepat. Sebab, tak lama setelah aku melihat bayangan di ruangan Angga, aku langsung menuju parkiran, menyalakan motor bahkan sempat singgah sebentar di pos satpam.
Dari beberapa tempat itu, ku yakini aku hanya menghabiskan waktu sekitar satu menit saja, sebab saat itu aku berlari bukan berjalan.
Tapi dari waktu satu menit itu, si pembunuh ini berhasil menghabisi nyawa para satpam di dua tempat yang berbeda. Pertama Joza di ruangan Angga, lalu Dani dan Hendra di halaman belakang kantor. Kejadian itu hanya berdurasi satu menit saja. Dan begitu aku menemukan dua satpam di halaman belakang kantor, mereka berdua sudah sekarat, sedangkan jejak pembunuh hilang begitu saja.
Padahal untuk menuju ke halaman belakang kantor dari ruangan Angga, itu setidaknya membutuhkan waktu sekitar satu menit lebih. Akan tetapi, yang dilakukan oleh pembunuh ini sungguh tidak masuk akal. Sebab ia berjalan keluar menuju halaman belakang setelah menghabisi Joza, lalu membunuh dua satpam lainnya sekaligus, kemudian menghilang tanpa ada jejak yang ditinggalinya.
Luar biasa aksi si pembunuh ini, pikir dalam hati.
Maka, jika sudah seperti ini, dugaanku antara dua saja, jika bukan pelakunya memang handal, asumsi lainnya adalah pembunuh para satpam ini berjumlah dua orang atau lebih.
Meskipun demikian, sulit sekali untuk mencari tahu siapa pelakunya. Yang jelas hanya satu, pembunuh ini bukanlah orang biasa. Dia pasti sudah melakukan banyak pembunuhan. Entah mengapa, tapi aku begitu yakin dengan firasat ini.
***
Bersambung...
Comments
Post a Comment