Kapten Yang Berpengalaman dan Detektif Belia
__ __
Sejak SMA aku sudah terbiasa membaca tentang dunia kriminal. Barangkali karena terbawa oleh ayahku yang sering meliput berita kriminalitas. Ya, ayahku adalah seorang jurnalis yang tewas dibunuh oleh temannya sendiri, seorang bandar narkoba. Tapi kali ini aku tidak menulis sosok ayahku melainkan tentang seseorang yang membawaku terjun ke dalam dunia detektif.
Dia adalah orang yang sering ku sebut Kapten Tiyo. Nama aslinya adalah Teuku Ahsan Giovani, ia memakai nama Tiyo agar identitasnya tidak di ketahui oleh bandit-bandit buruannya. Sebab jika ketahuan, dia sendiri yang akan kembali diburu oleh orang-orang bengis itu.
Tiyo seangkatan denganku di SMA, bahkan kami sudah berteman sejak SMP. Kelas dua SMA, ia sudah bermimpi menjadi polisi. Alasannya karena ayahnya yang dulu merupakan pejabat besar di Cot Jambee terjerat kasus korupsi.
Saat itu, di kota ini masih menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, pembunuhan berencana, dan juga pengedar narkoba. Maraknya kasus korupsi serta kriminal-kriminal lainnya, membuat pemerintah mesti bersikap tegas untuk memberi efek jera.
Karena terbukti bersalah, maka ayah Tiyo pun dihukum mati. Ia tak pernah terima ayahnya dihukum seperti itu. Tiyo sempat menyimpan benci terhadap polisi dalam waktu yang sangat lama. Wajar, karena saat itu dia masih sangat belia — masih berumur sekitar enam tahun. Tapi, setelah mengetahui kebenaran tentang ayahnya, juga dirinya yang memang sengaja mendalami hal-hal yang berkaitan dengan korupsi, Tiyo akhirnya mengubah cara pandang dan sikapnya.
Tiyo mempelajari seluk-beluk korupsi; penyebab seseorang melakukan korupsi hingga efeknya bagi masyarakat sekitar (dalam hal ini korban), ia menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh ayahnya merupakan sebuah kesalahan besar yang memang sulit untuk dimaafkan. Tiyo mencoba memahami dan memaklumi mengapa saat itu banyak orang yang meminta ayahnya dihukum mati. Ia juga menyayangkan ayahnya yang dulu begitu dikaguminya, tega menipu banyak orang demi kepentingan diri sendiri.
Akan tetapi, tak ada alasan bagi Tiyo untuk membenci ayah kandungnya meski sejak kematian sang ayah, hidupnya mulai sedikit tertekan sebab banyak orang mengait-ngaitkan dia dan ayahnya. Tiyo pun tidak lagi marah, baginya itulah resiko saat ia harus menanggung kenyataan bahwa ayahnya adalah pelaku korupsi, salah satu terburuk yang pernah ada di Kota Cot Jambee.
Untuk mengubah persepsi orang-orang, ia ingin membuktikan diri dengan menjadi polisi. Tiyo pernah bilang padaku, "aku tau bagaimana ayahku dulu. Sekarang aku akan menjadi polisi sebagai penebusan dosa ayahku. Mungkin orang-orang di kota ini merasa dikhianati, dan aku bertanggung jawab untuk melunasi itu semua".
Dan omongannya itu berhasil dibuktikan. Begitu tamat SMA, ia langsung terjun ke dalam dunia kepolisian. Sejak hari pertamanya di sana, hingga detik ini — dengan begitu banyak kasus yang ia selesaikan, ku pikir Tiyo telah menebus kesalahan lama ayahnya. Bahkan, karena kelihaiannya menangani kasus-kasus berbahaya, dengan cepat Tiyo dinaikkan pangkatnya. Hingga saat ini, ia sudah menjadi komisaris di Kapolda Darusalam. Meskipun demikian, jabatan yang diembannya adalah Kapolsek Cot Jambee. Terobosan-terobosan yang ia jalani serta kepintarannya mengatur strategi, ku kira Tiyo pantas mendapatkannya.
Dari sekian banyak kasus yang ditangani, lebih dari setengahnya ada keterlibatan diriku. Sebenarnya, setelah lulus sekolah, kami berdua punya haluan yang berbeda. Tiyo polisi dan aku seorang penulis yang merangkap sebagai wartawan lepas. Seperti dirinya, aku juga tertarik mengikuti jejak ayahku sebagai jurnalis profesional, maka aku memulainya dari tahapan terendah. Aku sering mengambil bagian jika para polisi sedang memburu perampok dan teroris. Aku pun mesti siap jika sewaktu-waktu ada peluru nyasar menargetiku, karena memang untuk urusan kriminal seperti ini, pasti aksi tembak-menembak tak dapat dielak.
Di situlah aku sering bersua dengan Tiyo. Selain itu, kami sering ngopi bareng sambil bincang-bincang tentang kasus yang sedang ia dalami. Diskusi yang kami lakukan entah mengapa selalu sejalan. Dia bagus dalam menyusun rencana, sedangkan aku adalah tipe orang yang tak ingin menganggap remeh apapun itu, ku berilah masukan-masukan yang mungkin bisa saja terjadi saat bertugas. Dan uniknya, banyak dari dugaanku benar-benar terjadi sampai Tiyo muali bertanya padaku, "kenapa perkataanmu malah terjadi, apa yang kau yakini?"
Aku hanya belajar dari masa lalu di mana ayahku terbunuh oleh temannya sendiri. Ia memang dibunuh oleh sahabatnya itu, tapi kejadian itu tidak terbayang sedikitpun oleh para polisi serta rekan kerja ayahku yang memang ayahku tewas sebab ada hubungannya dengan dirinya. Ia tahu ayahku tak pernah bisa membeberkan keberadaan sahabatnya yang sudah menjadi bandar narkoba kepada polisi. Demi menutup rahasia itu agar tidak diketahui oleh para polisi, rekan kerja ayahku mengatur strategi agar saat si bandar narkoba tertangkap, ayahku dapat dijadikan sebagai pahlawan karena memang saat itu ayahku sedang berada bersama sahabat lamanya itu — ia membantu si bandar narkoba untuk kabur.
Naasnya, pergerakan mereka diketahui oleh polisi sebab rekan kerja ayahku membeberkan keberadaan mereka. Sang bandar narkoba mengira ia telah dikhianati, maka ia mencoba melarikan diri dan juga sempat menembak ayahku. Atas kejadian ini, rekan kerja ayahku tak pernah bermaksud melibatkan ayahku, ia hanya ingin membuat polisi menganggap ayahku sebagai pahlawan karena orang ini tahu ayahku begitu menderita mendapati kebenaran sahabat lamanya menjadi bandar narkoba.
Kejadian itu memang diluar dugaan tapi membuatku sadar untuk mempersiapkan semuanya sebaik mungkin, bahkan kemungkinan-kemungkinan kecil yang dapat terjadi. Selain itu, aku tak pernah menganggap sepele firasatku. Bagiku pribadi, firasat itu muncul sebagai sinyal peringatan, barangkali akan ada hal-hal tak terduga malah terjadi. Lagipun, sudah semestinya aku tak boleh menganggap remeh pelaku-pelaku kriminal itu sebab aku tak pernah tahu senjata yang dimiliki atau kemampuan bela diri yang mereka punya.
Alasanku mungkin masuk akal bagi Tiyo. Maka dari itu, ia mulai melibatkanku langsung. Pasti jika ada kasus baru yang terasa rumit baginya, ia akan memintaku untuk bergabung.
"Aku tau kau bukan orang sembarangan. Kemampuanmu aku butuhkan. Bagaimana jika kita kerjakan bersama sambilan kau menulis berita. Tapi, jangan terlalu gegabah karna aku tak pernah bilang keselamatanmu akan ku tanggung." Ujar Tiyo.
Kami pun menjalankan tugas bersama. Ada yang gagal, tapi juga tak sedikit berakhir sukses. Dan seiring berjalannya waktu, Tiyo secara resmi diangkat menjadi komisaris Polda bersamaan dengan dipilihnya ia sebagai Kapolsek Cot Jambee. Kapolda menilai bahwa Tiyo sosok pemberani yang mampu melakukan terobosan dengan akurat. Saat itu, banyak pelaku kejahatan berakhir dalam jeruji besi.
Bahkan, kasus korupsi yang sebelumnya begitu marak di kota Cot Jambee, perlahan mulai menghilang. Kota ini pun menjadi salah satu kota terbersih dari korupsi. Semua karena Tiyo yang berhasil menumpasnya dengan baik.
Tapi, Tiyo merasa bukan dirinya saja yang berjasa. Ia menganggap semua kasus kejahatan bisa dihentikan karena ada keterlibatan diriku. Maka ia menjadikanku sebagai detektif lengkap dengan lisensi resmi kepolisian. Dengan begitu, aku dapat lebih leluasa menumpas kejahatan di Cot Jambee.
Memang, aku tak bisa menjadi polisi seutuhnya, itu karena diriku tak pernah menjalankan misi dari terendah. Meski demikian, namaku telah resmi ada dalam catatan kepolisian. Bahkan, sejak menjadi detektif, Tiyo memberikan beberapa bawahannya yang sangat terlatih untuk bekerja sama denganku. Aku sendiri jarang meminta bantuan mereka, hanya jika kasusnya terlalu beresiko. Jika tidak, aku akan beraksi bersama temanku Benny, sahabatku yang juga seorang juru foto.
Sejak dipercaya menjadi detektif, tak terhitung lagi berapa banyak kasus yang telah ku jalani. Dari semua itu, barangkali setengahnya ku lakukan bersama Tiyo dan Benny, sisanya aku beraksi sendirian. Aku pun sadar terlalu beresiko jika kerja sendiri sebab aku banyak melibatkan diri dengan bandit-bandit yang berbahaya.
Oleh karena itu, aku mempersiapkan apapun yang dapat membantuku saat menjalankan tugas sendirian, seperti persenjataan, jubah pelindung untuk bersembunyi jika aku berada dalam situasi mendesak, bahkan sampai alat aliran listrik yang ku satukan di jubah yang selalu ku kenakan, atau alat kejut untuk memadamkan listrik. Ada juga grapple gun yang berguna kapanpun aku butuh menaiki gedung-gedung tinggi agar cepat sampai, bom asap, senjata kebas yang selalu ku gunakan untuk melumpuhkan bandit yang melarikan diri.
Masih banyak peralatan lainnya, semua ini ada karena aku bekerja sama dengan seorang pria bernama Jack, polisi juga. Dia ahli merakit senjata. Dan berkat kerjasamanya denganku, kami mampu menciptakan berbagai macam senjata berteknologi canggih yang mana bandit bahkan polisi sekalipun belum memilikinya. Rakitan kami tentu saja ada bantuan dari Tiyo juga meski ia jarang sekali memakainya sebab terlalu rumit.
Persenjataan yang ku miliki, persiapan matang yang ku punya, serta analisis tajam yang mampu membaca situasi dalam keadaan genting, Tiyo seolah percaya padaku. Setelah beberapa kejadian yang mungkin pernah membuatnya terheran-heran akibat diriku yang terkadang mengandalkan firasat dalam pengejaran para bandit, ia mulai menaruh respek besar kepadaku.
Pun demikian aku, Tiyo adalah polisi yang punya segudang pengalaman. Mengejar target sudah lebih dulu dilakukan ketimbang diriku. Maka, pengetahuan yang ia miliki serta pengalaman yang pernah dialami, aku tak pernah meragukan kapasitas Tiyo.
Menjadi detektif bukan perkara mudah. Meski banyak polisi sudah mengakui keberadaanku dan menghormatiku, bagiku pekerjaan tetaplah pekerjaan dan harus ku jadikan nomor satu. Sebab aku tahu, setelah Tiyo mengangkatku menjadi detektif, ada tanggung jawab besar yang harus ku emban. Selain itu, nyawaku juga menjadi sasaran bagi para bandit.
Tapi tak mengapa, sebab menjadi detektif adalah salah satu upaya diriku menutup kesalahan yang pernah ayahku lakukan karena tak pernah bisa membawa sahabatnya sang bandar narkoba ke dalam penjara hingga akhirnya ia tewas di tangan kerabatnya sendiri. Aku juga mencoba menutup kesalahan rekan kerja ayahku yang mana kematian ayah terjadi oleh sebab ada kejadian tak terduga malah terjadi. Ia tidak memikir jauh kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa saja terjadi saat memutuskan sesuatu. Meski begitu, aku tak pernah menyalahkan mereka berdua. Hal demikian terjadi agar aku sendiri dapat menjadikannya sebagai pelajaran.
Sama seperti Tiyo, memutuskan menjadi polisi untuk menebus dosa ayahnya yang terjerat kasus korupsi. Ia merasa diri berhutang pada warga Cot Jambee. Maka setelah seragam kepolisian tersemat di tubuhnya, juga bersama pangkat yang terus bertambah, Tiyo sudah menumpaskan banyak kasus, dan yang terbanyak adalah kasus korupsi.
Dia komisaris sekaligus Kapolsek, dan aku detektif. Kami tetap saling menghargai. Itu ditandai dengan dirinya yang selalu memanggilku "detektif", dan aku selalu menyebut dirinya "Kapten".
Sekarang dan nanti di masa depan, akan ada banyak kasus yang harus kami tumpas sampai ke akar-akarnya. Karena, kriminal akan terus ada, oleh sebab itu aku dan Kapten selalu siaga meski nyawa taruhannya.
***
Comments
Post a Comment