![]() |
Foto oleh Pixabay dari Pexels |
Bagian II: Kekacauan di Kota Cot Jambee
“Ya,
kau benar…” ujarku kepada Fernando sembari mengangkat lengan kiri yang terlilit
jam digital ke sisi depan wajahku. “Tapi aku lebih suka melihatmu seperti ini…”
“Hah…?”
Ia mengangkat alis karena tak paham maksud perkataanku. “Seperti ap…?”
Belum
selesai dirinya mengoceh, bersamaan dengan itu, sebuah jarum kecil meluncur
deras dari jam tanganku dan melukai hidungnya. Fernando pun spontan berteriak,
kedua tangannya memegangi hidung yang seketika berlumuran darah.
Saat
ia lengah, aku berlari kencang ke arahnya; ia menyadari pergerakanku dan hendak
berusaha menekan tombol di remote
tadi untuk meledakkan rumah sakit. Tapi dengan cepat aku melompat dan mendarat
tepat di hadapannya.
Di
waktu bersamaan ini, ku raih tangan Fernando dan memutari tubuhnya
membelakangiku; aku dalam posisi bagus untuk mematahkan lengan kirinya. Tapi
tidak ku lakukan dan hanya menendang punggungnya untuk merebut benda mungil
yang dipegang olehnya. Seketika ia tercampak beberapa meter dariku. Remote ini lantas ku lempar kepada
Awsya.
Namun
aku tak menyangka, ternyata Fernando masih memiliki pistol lain di balik jaket.
Ia langsung mengambilnya dan menyasari rekan wanitaku. Sedangkan aku kembali berlari
untuk menghantam si keparat itu agar sasarannya melenceng.
Dalam
situasi genting, aku melirik pistol Fernando kemudian menolehkan tatapan ke
Awsya yang berdiri sedikit berjauhan dariku.
“Awsyaaa,
awasss!!!” teriakku.
Dalam
detik-detik krusial ini, ia mencoba menghindar, tapi…
Door
Awsya
tergeletak, mengerang dan memegangi kaki kanan tepat di saat hantamanku
mengenai Fernando. “Bajingan…” aku bergumam dalam hati. Ia terlambat
menghindar, tapi sepertinya tidak, aku yang telat untuk menghantam keparat ini
agar peluru itu tidak mengenainya.
Duak… duaak…
Fernando
memukuli wajahku dua kali kemudian berdiri dan bergegas mengambil sebuah besi
padat. Aku sendiri tak tahu dari mana ia mendapatkan benda itu. Dan tanpa
basa-basi keparat ini menyerangku dengan penuh nafsu.
Dalam
posisi yang masih terbaring, aku segera menopang kedua tangan ke lantai lalu
mendorong tubuh ke belakang dengan gaya akrobatik untuk segera bangkit dan
menghindari pukulannya; ia gagal.
Ayunan
besi yang dilancarkan oleh Fernando untuk kedua kalinya masih dapat dengan
mudah ku baca, aku mengelak sembari menunduk ke kiri. Namun ia malah menendang
wajahku… sungguh serangan yang tidak ku sangka-sangka.
Aku
pun terayun ke atas dan langsung saja ia menghantamku dengan besi tadi.
Sasarannya adalah bagian kepala dan dada, sedangkan diriku sebisa mungkin
melindungi dua bagian penting itu menggunakan lengan. Naasnya, kedua lenganku
seakan menjadi tempat pelampiasan bajingan ini, ia terus menyerang empat kali berturut-turut
hingga membuatku terombang- ambing hilang keseimbangan.
Fernando
berhenti sejenak sambil tertawa lalu kembali melayangkan besi itu ke wajahku
tapi kali ini aku lebih sigap—ku tahan tangannya yang memegangi besi lalu
membenturkan kepalaku ke jidatnya.
Kini,
kami saling menahan serangan; ia mencoba segala cara untuk mengalahkanku,
kakinya berulang kali menendang betisku dan aku sendiri berusaha sekuat tenaga
agar tidak roboh.
“Kenapa
kau tidak jatuh, bajingan…?!” ia memaki, napasnya juga semakin menggebu-gebu.
Mataku
menatap lurus Fernando juga menangkap Awsya sedang menahan darah dari luka
tembakan tadi… terlihat dari sudut pandangan yang rabun. Lalu, sejenak aku
menoleh ke kanan; aku tahu rekanku sudah terluka, dan jika Fernando berhasil
lepas dariku, bisa saja ia membunuh wanita itu… bahkan diriku sendiri. Terlebih
lagi, hantaman besi tadi seakan menjadi serangan mutlak. Lengan kiri dan kananku
sakit tak karuan, sepertinya aku tak sanggup menahan bandit ini lebih lama
lagi.
Tak
ada pilihan lain, ku lepas tanganku dari tangannya yang memegangi besi; aku
menarik kerah jaket yang ia kenakan untuk kemudian ku hantam tiga kali
perutnya. Ku lakukan ini agar besi yang ia genggam terlepas, tapi sama sekali
tidak berhasil.
Maka,
ku bawa dirinya ke sisi tepian lantai tiga; tanpa berpikir panjang, sambil
merangkul tubuh Fernando, aku membuat kami berdua terjatuh. Dan dari sini, aku
lantas mendorong tubuhnya untuk memisahkan diri.
Kami
berdua terjun bebas; tapi aku tidak langsung jatuh sebab jubah yang ku kenakan
mengembang yang dengan otomatis udara mengalir ke seluruh jubah, membuatku
melayang terbang. Sedangkan Fernando terhambat oleh ranting pohon sebelum
menghantam tanah. Dari sini ku lihat, ia tak kuasa menahan diri dari rasa
sakit.
Ketika
diriku mendarat, aku langsung berjalan cepat ke arah Fernando, kedua tangan menarik
jaket hitam yang ia kenakan agar tubuhnya mendekatiku…
“Apa
yang kau rencanakan…? Katakan padaku…! Cepat katakan…!!!”
Amarahku
tersulut begitu saja… seperti kesabaran yang ku tahan sejak tadi habis total.
Satu sisi, aku sudah terlalu muak mendengar ocehan bajingan ini.
“Katakan
padaku rencanamu, keparat!!!” Aku kembali membentaknya.
“Sabar…
sabar dulu, detektif… aku…”
Tanpa
mendengar perkataannya, ku pukuli wajah lelaki ini berkali-kali hingga darah
berhamburan dari mulutnya. Tapi ia malah tertawa terbahak-bahak.
“Apa
kau ingin mengancamku?” ia kembali mengoceh dan aku pun lagi-lagi memukuli
wajahnya.
“Ha
ha ha ha… ka- kau… tak ada cara yang bisa kau lakukan untuk mengancamku.”
Duaakkk duaakk…
Tinju
yang kesekian membuat Fernando tercampak menyamping. Aku tahu itu sakit, bahkan
seluruh tubuhnya pun demikian. Meski begitu, ia tetap saja tertawa setelah
meludahkan darah dari mulutnya. Sungguh orang yang gila.
“Tenangkan
dirimu, detektif. Kau tak boleh… menyerang musuh saat sedang berdamai dengan
rasa sakit. Biarkan aku bernapas dengan tenang dulu.”
Ocehan
Fernando benar-benar membuatku hilang kendali. Sontak ku cekik bedebah ini dan
mengangkat tubuhnya. Aku tak peduli dirinya menjerit-jerit menahan rasa sakit.
“Katakan
semua rencanamu!”
“Tu-
tunggu lima detik…” Sahutnya.
Sialan
bajingan ini, ia benar-benar mempermainkanku. Amarahku kian membangkitkan api
dari dalam. Tanpa pikir panjang, aku membanting tubuhnya ke tanah yang di saat
bersamaan Fernando mengerang tak karuan. Belum cukup, ku angkat lagi dirinya
dan kembali melakukan hal yang sama sampai pada akhirnya seorang lelaki datang.
“Jim…
cukup. Hentikan.” kata orang ini sambil menahan diriku dari belakang yang ingin
membanting Fernando untuk yang ke tiga kali.
Ternyata
lelaki ini Benny. “Tahan emosimu,” katanya… “kau tidak se-tenang biasanya.”
Kedatangan
Benny membuatku sedikit menurunkan bara api meski belum dapat ku katakan seutuhnya
stabil. Dan tak lama kemudian, suara sirine mobil polisi mewarnai gendang
telinga. Sepertinya ada banyak, lalu seketika dari kejauhan aku melihat Kapten
Tiyo berjalan menghampiri kami. Ia tidak berkata apa-apa, mungkin karena
melihat diriku yang masih terbawa amarah, jadi barangkali kapten memahami perasaanku
paling tidak untuk saat ini.
Dia
hanya memerintahkan bawahannya untuk membawa Fernando ke markas besar. Setelah
itu, sepuluh pasukan khusus-nya ia tugaskan untuk masuk ke dalam gedung tua ini
dan menyelidiki ke setiap sektor apabila seandainya masih ada para bandit yang
lain.
Tak
hanya polisi, tim medis pun datang, mungkin Kapten yang menghubungi mereka. Dan
selang beberapa menit kemudian, Awsya keluar dari gedung tersebut; ia berjalan
pincang dan digotong oleh Fuad. Ku lihat kakinya yang tertembak tadi sudah
dibalut dengan sehelai kain untuk menahan aliran darah. Aku merasa kasihan
melihat wanita itu.
“Bawa
ia segera ke rumah sakit,” pinta Fuad kepada seorang perawat wanita yang
langsung bergegas membantu Awsya berjalan menuju ambulan.
Sedangkan
Fernando juga segera diamankan ke dalam mobil tahanan. Butuh dua petugas untuk
menggotongnya; ia terus mengerang kesakitan dan juga tertawa terbahak-bahak. Di
waktu yang sama, lelaki itu menoleh padaku, “detektif…” katanya sambil menahan
erangan.
Belum
pun ia mulai berbicara, seorang polisi membentaknya, “cepat jalan, bajingan!”
“Ha
ha ha…” Fernando tetawa lalu melanjutkan, “ku peringatkan, banyak polisi yang
sudah berkhianat. Aku tidak main-main, detektif. Kau sendiri tahu bahwa aku
orang yang sangat terencana, kan…?” Katanya sambil terbahak-bahak.
Begitu
ia berada dalam mobil tahanan, sang driver
langsung memacu mobilnya menuju markas besar.
“Dasar
anjing gila.”
Aku
mendengar kapten bergunjing, ia berdiri di dekatku. Selang beberapa detik
HT-nya berbunyi,
Pssstt…
“Lapor kapten, ada empat orang yang
kami temui; dua tersangka selamat dan dua orang lainnya—polisi—mereka tewas.” Seorang polisi memberi informasi
melalui HT.
“Dimengerti.”
Sahut Kapten.
Ia
lantas menawariku rokok, mungkin sebagai basa-basi untuk menenangkan emosiku.
Aku tidak menggubris tawarannya dan mengambil rokok sendiri. Kami membakar
racun ini bersamaan.
“Jika
sudah lebih tenang, aku ingin mendengar laporanmu, detektif.”
Kapten
berujar sedangkan aku masih tidak menyahutinya sepatah kata pun, hal ini
membuat Benny yang juga ada di sekitar kami tersenyum sembari jari telunjuk
kanannya menggaruk-garuk bagian belakang telinga. Tampaknya ia tak habis pikir
setelah melihatku tersulut emosi yang dapat dikatakan itu memang sudah di luar
batasanku. Sebab, jarang-jarang aku terbawa oleh bara api amarah ini.
“Tapi…”
Lanjutnya, “aku berterima kasih kau tiba di TKP tepat waktu.” Ia menoleh
padaku.
“Kau
melacak Fernando dengan sangat baik, lalu—”
Aku
langsung memotong pembicaraan Kapten Tiyo, “aku datang karena Awsya, bukan
untuk melacak bedebah itu. Dua polisi pengkhianat mencoba membunuhnya. Tapi,
abaikan saja… pukul 12 tadi, ada tiga ledakan di tiga sektor yang berbeda… apa
itu rumah sakit?”
Kapten
terdiam sejenak sebab aku yang tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
“Hmm…”
sahutnya, “dua…” katanya lagi sambil jarinya membuat simbol angka dua.
“Ledakan
yang satu lagi, di Jalan Teuku Nyak… tepatnya di sebuah pabrik perternakan.”
Jelas Kapten.
“Dua
rumah sakit yang hancur tadi, semua pasien berhasil diamankan. Ini sesuai
perkiraanmu, Jim. Sekali lagi, firasatmu menyelamatkan banyak nyawa. Hanya
saja, ada seorang security yang tewas.” Sahut Benny.
“Sama
saja… dengan kata lain rencana kita tidak sepenuhnya berjalan bagus.” Aku
menarik rokok, “sekarang bukan waktunya untuk melempar pujian. Aku malah
merasa, dari kasus ini, barangkali semua kekacauan baru akan dimulai.” Kataku,
asap silih berganti keluar dari hidung dan mulut.
“Aku
akan membawa Fernando ke Rumah Tahanan Krueng Baet, di sana dia akan mendapat
penjagaan yang lebih ketat.” Kapten berujar kepadaku.
“Ide
bagus… ku serahkan Fernando padamu.”
“Selain
itu,” kapten berhenti sejenak untuk menghisap rokok… ia juga menatapku
dalam-dalam, “kita harus bergerak cepat untuk mencari tahu jejak-jejak polisi
yang berkhianat. Mereka akan lebih menyusahkan kita dan juga sangat berbahaya.
Bisa ku katakan, mereka semua lebih berbahaya dari si bajingan Fernando.”
Aku
sendiri mengerti dan mengangguk pernyataan kapten. Para polisi pengkhianat itu
bagaikan serigala berbulu domba, mereka dapat menghancurkan kami dengan cara
tersenyap di saat kami lengah ataupun tidak. Di sisi lain, alasanku setuju
dengan ungkapan kapten adalah mereka sudah pasti tahu semua rencana dan
strategi kami. Buktinya, Fernando berhasil kabur dari penjara, lalu melancarkan
aksi gila dengan meledakkan dua rumah sakit dan satu pabrik.
Tapi,
aku beranggapan bahwa sebenarnya misi utama Fernando bukan untuk melakukan
pengeboman. Ia tahu bahwa di markas besar ada beberapa senjata berteknologi
canggih yang tersimpan rapi di gudang penyimpanan… ia ingin mendapatkannya.
Selain itu, bedebah ini juga ingin mencuri sebuah tank untuk menghancurkan beberapa Polsek.
Maka
dari itu, Fernando melakukannya dengan meledakkan bom di tiga sektor berbeda
karena itu semua sebagai pengecoh. Ketika kekacuan terjadi di tempat berbeda,
ini akan membuat para polisi sibuk untuk mengamankan para korban dan di situlah
ia memulai semua rencana dengan menugaskan para polisi pengkhianat untuk
mencuri senjata-senjata canggih tersebut.
Dan
puncak dari rencana-rencana Fernando, aku berasumsi bahwa ia berniat merampok
Cot Jambee Bank untuk yang ke dua kali… hasil rampokan itu akan ia gunakan
untuk membeli berbagai jenis senjata yang menurutnya para polisi di Cot Jambee
belum memilikinya. Selebihnya, uang tersebut akan dibagikan rata kepada para
bawahannya.
“Apa
motif Fernando ini sebenarnya?” Tanya Benny.
“Aku
juga sedang mempelajarinya. Tidak mudah untuk menginterogasi orang itu, bahkan
sampai sekarang pihak polisi belum mendapatkan identitas aslinya. Fernando itu
bukanlah nama asli… aku yakin itu. Dan orang ini berbeda dari penjahat yang
lainnya; dia gila… persis seperti caranya tertawa.” Ungkap Kapten.
Memang
benar yang diutarakan oleh Kapten Tiyo. Fernando ini benar-benar misterius,
maksudku misterius dalam hal motif dirinya melakukan kejahatan. Terhitung sudah
lima kali aku berhadapan dengannya, menjebloskannya ke dalam penjara… dalam
waktu itu aku sama sekali tidak medapatkan sesuatu yang akurat tentang motif
orang ini… malah sebaliknya, ia sudah berulang kali berhasil kabur.
“Membuat
kekacauan di mana-mana sembari tertawa, ia melakukan kejahatan tapi seperti
tidak ada tujuan pasti.” Kata Benny.
“Jika
kita melihat Fernando lebih jauh, caranya menghancurkan sambil tertawa… ku
pikir ia menikmati kekacauan itu.” Tiyo melanjutkan.
Aku
seakan setuju dengan perkataannya, “Fernando adalah bukti bahwa ada seseorang
yang melakukan kejahatan bukan karena uang semata, melainkan… ia melakukan itu
karena dirinya suka melihat kota ini hancur lebur berantakan. Itu sudah lebih
dari cukup untuk membuatnya merasa lebih bahagia. Fernando takkan berhenti
melakukan kriminal sebab itulah satu-satunya kesenangan untuknya, dengan kata
lain dapat ku rincikan… itulah tujuan sebenarnya. Dan dari sini kita mesti tahu
bahwa tak ada satupun cara untuk mengancamnya. Malah, ia menerima ancaman itu…
bahkan sambil tertawa.”
Mereka
berdua mengangguk, “hmm… seperti sosok Joker yang ada di serial Batman, ya...”
ujar Benny.
Di
sisi lain, Kapten sangat menikmati rokoknya, “maka tidak berlebihan jika aku
menganalogikan orang itu sebagai anjing gila…”
“Yaa…”
tiba-tiba Fuad datang dan langsung menyeropot masuk ke dalam pembahasan kami. “Lagipula,
dia memang orang gila kan, kapten?”
“Daripada
menganggapnya gila, kenapa kita tidak membayangkan Fernando di masa lalu, jauh
sebelum dirinya menjadi penjahat. Barangkali ada sesuatu yang terjadi hingga
mengubah kepribadiannya sampai kemudian menjadi sosok yang mencintai kekacauan.
Bukankah terjadi sesuatu terhadap mentalnya?” Sambungku.
“Apa
kau berusaha mengerti keadaan orang itu?” Tanya Fuad.
“Kita
juga mesti memahami sisi psikologis Fernando, agar ke depannya tidak ada lagi
orang lain yang mengikuti jejaknya. Paling tidak, sosok-sosok seperti dirinya
dapat berkurang.” Pungkasku.
Kapten
terlihat menopang tangan kanannya di pinggang, “kita mungkin tidak bisa
menghentikan bajingan itu, tapi kita masih punya potensi untuk menghentikan
para pemuda lain agar tidak berakhir seperti dirinya. Bukan begitu maksudmu,
detektif?”
Aku
mengangguk, kemudian ia melanjutkan lagi, “cukup Fernando ini—barangkali dia
hadir di Cot Jambee sebagai contoh bahwa seseorang dapat berubah menjadi sangat
liar setelah mendapatkan perlakuan buruk di masa lalu.”
“Seperti
bully-an…” Benny menyahut sementara aku mengangguk.
“tapi…”
Fuad mulai khawatir, “bagaimana nasib kota Cot Jambee selama orang itu terus
melakukan kriminal…? Apalagi, ia tadi berujar ada banyak polisi yang
berkhianat. Bagiku, ini sangat berbahaya.”
Kapten
Tiyo sedikit tersenyum mendengar Fuad, “itulah gunanya kita…” ia lagi-lagi
menarik rokok, aku pun juga sembari menatapnya. “Ini akan menjadi pekerjaan
seumur hidup. Sebab, siapa lagi yang akan menumpaskannya jika bukan kita para
polisi?”
“Ya,
kau benar, kapten.” Benny menyahut. “Mereka yang berkhianat sama sekali tidak
memahami makna dari seragam kepolisian. Dan itu sungguh memalukan.”
Aku
tersenyum saja mendengar omongan mereka dan lantas mematikan rokok dan berjalan
berlalu dari rekan-rekanku, Benny mengikutiku dari belakang.
“Mau
kemana?” Kapten bertanya.
Aku
berhenti sejenak dan menoleh ke belakang menghadap dirinya, “menjenguk Awsya.”
Jawabku singkat.
“Sampaikan
salamku untuknya… sungguh polwan yang tangguh.” Puji Kapten Tiyo; gumpalan asap
menyelimuti wajahnya.
Tanpa
berkata apapun, aku mengangguk, membalikkan badan dan meninggalkan TKP. Kasus
ini memang tidak bisa dikatakan tuntas, dan karena itu aku merasa sedikit berat
meninggalkan Kapten Tiyo di sini. Tapi di sisi lain, aku juga merasa bersalah
terhadap Awsya. Jika saja aku tepat waktu menghentikan Fernando saat itu,
mungkin dia tidak akan tertembak.
***
Dalam perjalanan ke rumah sakit
“Jadi,
kenapa Awsya bisa satu mobil dengan dua polisi pengkhianat itu?” Tanya Benny
yang sedang mengemudi.
“Entahlah.
Yang dapat ku pastikan, Awsya sedang berada di rumah tahanan itu saat Fernando
kabur. Ia bergegas mengejarnya.”
“Hmm,
kebetulan, ya?”
“Aku
tidak berpikir demikian. Barangkali mereka memang berniat membunuh Awsya di
gedung tua itu. Hanya saja, strategi awal mereka adalah menjadikan dirinya
sebagai tawanan, karena mungkin mereka tahu aku akan menyusul Awsya ke sana.
Dengan kata lain, aku juga menjadi sasaran utama untuk dibunuh”
Pembahasan
singkat ini terhenti sejenak. Aku yang duduk di sebelah Benny dapat merasakan,
dia memacu mobil dalam kecepatan 100 km/jam. Lampu-lampu kota satu persatu
tertinggal di belakang.
“Tapi
Jim, apa benar Fernando kabur dengan cara meledakkan seorang bawahannya di
dalam sel?”
“Dari
keterangan yang ku dapat seperti itu. Para petugas menemukan jasad bawahan
Fernando hancur—mungkin ia sudah lebih dulu memasukkan alat peledak ke dalam
tubuh bawahannya. Lagipula, mereka berdua berada di dalam sel yang sama.”
“Bagaimana
caranya…?” Benny terlihat penasaran.
Aku
menggeleng, “tapi kesimpulan sementara yang dapat ku ambil adalah… Fernando
sengaja membuat dirinya tertangkap bersama bawahannya untuk melakukan aksi di
malam ini.” Jawabku.
“Hmm…
begitu ya. Mungkin aku juga mesti setuju dengan firasatmu.” Celotehnya.
Sedangkan aku hanya tersenyum saja sambil menahan rasa sakit di kedua lengan akibat pukulan bedebah sialan itu dengan sebuah besi.
Comments
Post a Comment