Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Foto oleh Monstera dari Pexels


    

        Bagian II: Bercak Darah Calon Pengantin Baru

        -- --


“Jangan bergerak!” Kata Kapten Dzaki.

“Aku tidak melakukan apa-apa, hanya menyelamatkan anakku. Semua ini karena Detektif Jimmy.” Sahut Saidil.

Tiba-tiba, kapten baru menyadari bahwa anak Saidil yang juga merupakan calon mempelai pria ternyata masih hidup. Ia terkejut karena sebelumnya bocah lelaki itu tewas di kamar.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa anakmu masih hidup? Apa artinya ini…?” Dzaki mulai curiga.

Terjadi percekcokan mulut di antara mereka. Si keparat itu terus mengada-ngada tentangku sedangkan kapten masih tetap berpegang teguh atas prinsipnya.

“Aku tidak mengerti kenapa anakku masih hidup. Saat sedang memastikan keadaan di atas atap, aku terkejut sebab anakku sedang berkelahi dengan Detektif Jimmy. Sudah jelas ini semua rencana jahat detektif keparat itu.” Saidil makin menjadi-jadi saja. Sepertinya ia memang punya keahlian untuk berpura-pura, kata sederhananya adalah playing victim.

“Terakhir kali ku ingatkan, jatuhkan pistolmu.” Ucap Dzaki. “Sekarang, Pak Saidil…” ia masih sabar menghadapi situasi ini.

Sialan, aku masih belum menemukan kesempatan untuk kembali ke atap sana. Di sisi lain, Saidil pun menjatuhkan pistol dan mengangkat tangan. Melihat itu, dengan segera Dzaki meminta bawahannya untuk menahan lelaki tersebut. Ia pun berjalan.

Tapi, sesuatu yang tak terduga terlihat dari kedua mataku. Seorang wanita datang dari belakang Kapten Dzaki, ia memegang pisau. Aku tahu ia pasti akan menusuk rekanku. Maka aku pun berteriak, “awas di belakangmu kapteeenn…!”

Begitu Dzaki menghadap ke belakang, wanita tadi langsung menikamnya di perut. Seketika rekanku tertekuk dan tersungkur dalam posisi berlutut.

Aku pun bergerak cepat, ku ambil grapple gun untuk melompat kembali ke atas. Ketika talinya menghantam sebuah beton, dan saat ku rasa ikatannya sudah erat, begitu diriku hendak meluncur, dalam satu detik kemudian bawahan Dzaki malah tertembak.

Saidil berhasil mengamankan pistolnya lalu menembak polisi tersebut yang mengenai bahu kanan. Di detik selanjutnya, aku tahu ia akan menghabisi bawahan Dzaki. Gerak cepat, aku pun meluncur deras ke atap rumah, membuat Saidil hilang fokus.

Di posisi genting ini, aku sendiri juga tergesa-gesa. Tidak biasanya aku mendarat buruk setelah menaiki ketinggian menggunakan grapple gun. Untuk kali ini aku terjatuh berguling-guling sebanyak empat kali.

Dalam posisi telungkup, ku paksakan mata untuk menatap Saidil, ia sudah bersiap menembakku. Satu detik kemudian,

Dooorr…

Peluru itu menghantam lantai atap karena aku berhasil mengelak lalu berdiri. Akan tetapi, Saidil tak memberi kesempatan diriku bernapas, ia kembali menembak dan mengenai dadaku lagi.

Memang pelurunya tidak menembus sebab ada pakaian anti peluru. Tapi aku tetap menekuk seolah-olah diriku terluka.

Ketika Saidil untuk kesekian kalinya menembakku, tepat sebelum ia menekan pelatuk, aku mengambil pisau kecil dan melempar ke arahnya. Sepersekian detik selanjutnya, pisau itu tertancap mulus di paha kanan Saidil.

“Aaaakkhhh…” Saidil terduduk dalam posisi berlutut. “Bajingan kau…” makinya dengan keras.

Aku tahu, inilah saatnya untuk menghabisi Saidil… erangan sakit di pahanya… bagiku, aku punya waktu lima detik untuk datang dan menghabisinya sekaligus.

Namun ketika aku baru berlari tiga langkah, wanita yang menusuk Kapten Dzaki berteriak.

“Jangan ke sana detektif…!” Ujarnya.

Aku menoleh ke belakang… sialan perempuan itu. Ia sudah bersiap-siap menggorok leher Dzaki.

“Jika kau ingin polisi ini selamat, maka dengar apa yang ku katakan.” Ia mendekatkan pisau ke leher kapten. “Angkat tanganmu sekarang…”

Aku tak punya pilihan lain selain terpaksa menuruti perintah wanita ini. Ia adalah istri Saidil.

“Paa, sekarang. Habisi detektif itu.” Ia berkata kepada Saidil.

Dan ketika pria itu membidik pistolnya ke arahku, tiba-tiba saja ia ambruk dan berteriak-teriak.

“Papaaa…” sang istri memanggil Saidil. “Hey, apa yang kau lakukan padanya…?” ia bertanya padaku.

“Tidak ada…” jawabku tenang. Padahal piasu yang tertancap di paha Saidil tadi adalah pisau beracun.

Tapi aku tidak menggubrisnya dan langsung melanjutkan, “sebenarnya aku hanya ingin melakukan ini padamu.” Aku menatap istri Saidil.

Bersamaan dengan tatapan keheranannya, ku letakkan tangan kanan yang terlilit jam tangan tepat ke wajahku lalu membidik perempuan tersebut. Seketika sebuah besi kecil nan tipis meluncur deras dari jam tanganku dan mengenai dahinya. Ia pun tersungkur ke belakang.

Di sini pula aku langsung berlari dan menahan istri Saidil dengan borgol. Aku membelenggunya di tangan kiri dan kaki kanannya. Terkadang cara seperti ini adalah yang terbaik agar bandit tidak bisa lagi melarikan diri walaupun terlihat aneh oleh sebagian besar orang.

Kini, ketiga tersangka sudah teratasi; si calon mempelai pria masih lemah tak berdaya setelah kesetrum, ayah dan ibunya juga terluka masing-masing di paha dan dahi. Lalu aku menoleh ke arah Kapten Dzaki dan bawahannya, kondisi mereka benar-benar parah.

Aku berjalan dan menggotong anak buah Dzaki untuk kemudian membaringkannya di sebelah sang kapten.

“Maaf, aku harus menyobek sedikit bajumu…” kataku kepada polisi ini.

Ia tidak berkata apapun hanya menahan rasa sakit di bahu. Begitu ku koyak serpihan pakaiannya, langsung ku lilitkan di bahu polisi ini dan juga di perut Kapten Dzaki untuk menahan rembesan darah. Meski demikian, mereka berdua butuh tim medis… segera.

“Tim medis, ini Detektif Jimmy. Mohon bergerak cepat ke atap rumah sebab ada dua polisi yang terluka.” Kataku melalui HT-nya Dzaki.

“Di sini Ferry, tim medis akan segera ke sana, detektif.”

“Uhuukk… uhuukkk…”

Kapten Dzaki terbatuk- batuk, ia mengeluarkan darah dari mulut. Aku semakin prihatin dengan kondisinya.

“Bertahanlah, tim medis akan segera datang.”

Ia tersenyum mendengar perkataanku, lalu mencoba sebisa mungkin untuk berbicara. “K-kau… s-s…sud..dah… melak… kukan y-yang terbaik.”

“Jangan mengoceh dulu. Kau terluka parah. Diam saja… lagipula aku tidak butuh pujianmu sekarang. Simpan dulu sampai kondisimu sudah lebih baik.” Ku ceramahi saja dirinya yang berlagak sok kuat.

Selang tiga menit, tim medis datang dan langsung melakukan pertolongan pertama kepada Kapten Dzaki dan bawahannya. Beberapa polisi juga tiba tak lama setelahnya, mereka seakan tak percaya sang kapten terluka.


***


    Markas Besar Kepolisian Cot jambee

Tepat pukul Sembilan aku sampai di markas. Begitu ku parkirkan mobil langsung diriku berjalan ke ruangan Faud. Tadi subuh ia menelponku, katanya keluarga dari calon mempelai wanita akan dimintai keterangan lebih lanjut mengenai kasus percobaan pembunuhan tadi malam di mana perempuan itu dan keluarganya menjadi sasaran.

Kasus ini resmi ditetapkan sebagai percobaan pembunuhan dan para tersangkanya adalah calon mempelai pria serta keluarganya. Sekarang, mereka bertiga berada dalam sel di Polsek Lam Angan.

Begitu diriku berada di depan ruangan Fuad, langsung pintunya ku buka dan di dalam sudah ada dirinya, Awsya dan Benny serta tiga polisi lainnya. Tapi aku tidak melihat Kapten Tiyo di sini. “Ke mana dia?” Tanyaku dalam hati.

“Silahkan detektif.” Ujar Fuad.

Aku berjalan masuk di mana pandangan pertamaku tertuju pada Awsya. Ia menatapku dengan wajah kesal, barangkali wanita ini masih marah karena aku tiba-tiba memutuskan telepon saat ia sedang curhat panjang lebar semalam.

Apa boleh buat… satu sisi aku memang sedikit tidak sopan dan mungkin juga tidak menghargainya. Tapi sekarang ku kesampingkan dulu masalah itu. Setelah urusan kasus percobaan pembunuhan tadi malam kelar, baru nanti aku memberi klarifikasi kepada Awsya.

Ketika aku sedang berjalan dan ingin duduk di sebelah Benny, ibu dari calon mempelai wanita datang menghampiriku.

“Senang kembali bersua denganmu, Detektif Jimmy.” Kata Novia yang juga seorang detektif. Ia bergegas menyalamiku.

“Terima kasih…”

“Berkatmu tadi malam, semua kejanggalan akhirnya terungkap. Aku sangat berhutang budi padamu. Jika kau tidak datang, mungkin anak perempuanku sudah tewas… atau bahkan kami semua”

Aku tersenyum sejenak lalu menyahut, “sebagai sesama detektif, ku pikir kau sudah melakukan pekerjaan hebat juga. Aku tahu, kau pasti juga merasa ada keanehan saat melihat calon mempelai pria… lebih tepatnya si tersangka.”

“Tapi…” ia melepaskan genggaman tangannya dariku, “aku tidak pernah menyangka jika jasad itu palsu. Aku tak pernah menduga sampai sejauh itu. Dalam benakku, laki-laki itu memang tewas dan aku berkesimpulan ada orang yang membunuhnya, namun bukan karena bunuh diri.”

Aku mengangguk mendengar penjelasannya, “dan…?”

Novia menatapku, “dan dugaanku saat itu, yang membunuh calon anak perempuanku adalah ayahnya. Sebab, dari asumsiku, ia tidak terima anaknya menikahi putri kami. Singkatnya, detektif, karena pertiakannya dengan suamiku, ia tidak mau menerima anaknya menikahi anak kami. Dan dari sini, ku pikir awalnya ia memang membunuh anaknya sendiri dengan kemudian dia juga akan membunuh kami sekeluarga.”

Tiba-tiba Fuad masuk dalam pembahasan kami, “maaf, boleh aku bertanya?”

Novia mengangguk sedangkan aku hanya menatap polisi itu.

“Apa benar berita tentang Saidil memeras beberapa mahasiswa yang hendak ujian kelulusan?” Fuad penasaran.

Novia tidak menjawab, ia malah menoleh pada suaminya seolah-olah membiarkan lelaki itu yang memberi penjelasan.

“Ya… itu benar. Aku mendapatkan informasi ini dari para mahasiswa sendiri. Kejadinannya sudah lama. Saidil memeras mereka agar memberikannya uang. Jika tidak para mahasiswa yang akan ikut ujian siding tidak diluluskan.” Jawab suami Novia, Weri.

“Baiklah, itu masuk akal. Tapi bagaimana mungkin kau langsung percaya dengan omongan mahasiswa? Bisa saja mereka berbohong kan?” Lanjut Fuad.

“Awalnya ku pikir seperti itu, oleh karenanya aku langsung menjumpai Saidil. Aku mesti membawanya ke warung kopi dan hanya berdua saja hanya untuk memastikan apakah berita tersebut benar atau tidak. Setelah berjam-jam kami duduk bersama,” weri lalu mengubah posisi duduk menghadap Fuad, “baru ia mengakui. Meski demikian, Saidil memintaku untuk diam.”

“Lalu…” Fuad menaruh kedua tangannya di pinggang, “kenapa akhirnya kalian malah saling bertikai?”

“Aku memaksa suamiku untuk membocorkan rahasia Saidil.” Sahut Novia. “Aku tak terima… posisi suamiku adalah dekan fakultas, sedangkan Saidil adalah ketua program studi. Aku tak terima dia diatur-atur oleh seorang bawahan apalagi ini menyangkut perbuatan kotor. Bagiku, itu sangat memalukan.”

Semua terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Weri melanjutkan, “ya… begitulah ceritanya.”

“Singkatnya…” sambung lelaki itu, “aku mendesak Saidil untuk mengakui perbuatan kotornya. Dan karena ia menolak, aku pun terpaska mengancam, jika dia tidak berterus terang kepada pihak kampus dalam tempo waktu yang sudah ku tentukan, maka aku akan melaporkannya ke polisi. Dari sinilah pertikaian kami berawal hingga puncaknya tadi malam.”

“Begitu ya…” sahutku. “Jadi…”

Saat aku hendak berbicara, tiba-tiba seseorang memukul kepalaku dari belakang.

Duaakkk

Pukulan ini membuatku terdorong dan spontan mengeluarkan kata cacian, “bajing…!” belum habis ku lisankan, begitu aku menoleh ke belakang, aku terkejut. Ternyata orang yang memukulku tadi adalah Kapten Tiyo.

“Kau memang sangat bisa diandalkan, detektif. Kerja bagus.” Celotehnya sambil menepuk-nepuk punggungku.

Aku yang risih langsung menyingkirkan tangannya dan menghindar beberapa senti. “Lain kali jangan langsung main di kepala, itu membuatku pusing.”

Semua yang ada di ruangan Fuad tertawa mendengar aku mengoceh kesal.

“Maaf… maaf, aku hanya terbawa suasana. Kau tahu aku bahagia hari ini. Berkatmu dan juga Detektif Novia,” kapten melirik wanita itu, “kalian sudah berhasil menggagalkan aksi percobaan pembunuhan ini.”

“Aku tidak melakukan apa-apa. Detektif Jimmy yang mengungkapkan semua kebenarannya.” Sahut Novia.

“Oh, begitu ya… aku sangat tersanjung, padahal tadi malam ia sedang sibuk,” Tiyo menatapku dan menggerak-gerakkan kepalanya ke arah Awsya. “Benarkan, detektif…?” sambungnya lagi.

Sialan, jangan bilang kapten tahu bahwa aku sedang menelpon Awsya. Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Sedangkan Awsya terlihat hanya tersenyum tipis sambil menutupi mulutnya.

“Hey…” kapten berbisik, “sepertinya kau harus segera memberi klarifikasi pada Awsya, atau sesuatu yang buruk akan menghampirimu.”

Sontak aku terkejut, ku rasakan kedua bola mataku sedikit melebar karena tak percaya apa yang baru saja dikatakan oleh Tiyo. Aku lalu menatapnya dan ia mengangguk tiga kali kemudian kembali berbisik, “walaupun ia tahu kau sedang menjalani misi. Tapi aku yakin Awsya ingin kau menjelaskannya secara langsung melalui mulutmu… yaa, itu jika kau tak ingin membuat wanita itu menjadi lebih marah.”

Setelah itu ia menepuk bahuku, “semoga berhasil, detektif.” Ia tertawa.

Yang lain termasuk Fuad dan Benny terlihat penasaran. Barangkali mereka bertanya-tanya kenapa kapten hari ini bertingkah sedikit aneh, tidak biasanya.


    Lima Belas Menit Kemudian

Kesimpulan awal sudah ku dapatkan. Sekarang tinggal membawa Saidil dan keluarganya ke markas besar untuk diiterogasi sebelum nanti mereka diadili. Di sisi lain, keluarga Detektif Novia meminta perlindungan kepada polisi dari sangkut paut Saidil. Mereka masih waspada seandainya percobaan pembunuhan kedua kembali dilancarkan karena orang-orang terdekat dari lelaki yang menjabat sebagai ketua program studi tersebut bisa saja tidak menerima ini semua.

Meskipun kasus ini sudah menemui titik terang, tapi diskusi serius masih juga berlangsung. “Rencana pembunuhan ini terdengar unik, jarang terjadi.” Ujar Kapten.

“Begini,” lanjutnya, “Keluarga Saidil ingin membunuh kalian semua…” Ia berhenti dan menatap Novia.

“Tapi detektif, siapa yang menduga bahwa anak Saidil yang ditemukan oleh calonnya tewas di kamar sebenarnya itu bukanlah dirinya melainkan… robot?” Kapten Tiyo menoleh padaku.

“Aku tidak tahu persis apa itu robot atau bukan. Tapi, di dalam jasad palsu itu, aku menemukan beberapa kabel yang semuanya berfungsi sebagai alat peledak.” Jawabku.

Novia lalu menyahut, “aku juga tidak mengerti, sangat tak ku sangka Saidil mencoba membunuh kami dengan skenario semacam itu.”

“Jika aku berkesimpulan…” ujarku. Semua orang di dalam ruangan ini menatapku serius. “Saidil berencana membunuh kalian dan juga… anaknya sendiri.”

“Apa katamu?” Kapten terkejut.

“Yang benar saja detektif…?” Novia pun ikut-ikutan tidak percaya.

“Kenapa kau sampai berpikir seperti itu?” Tanya Weri padaku.


***


Bersambung...


-Bagian III akan terbit hari Minggu 2 Oktober 2022-

Comments