Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Foto oleh Monstera dari Pexels


    Bagian I: Bercak Darah Calon Pengantin Baru

    -- --

Suara bising kendaraan silih berganti memekakkan gendang telinga. Aku yang sedang menelpon Awsya sama sekali hampir tidak mendengarnya. 

“Woy, hati-hati kalau jalan.” Seorang lelaki bertubuh tegap memaki pria lain yang berbadan agak kecil. Mereka berada di hadapanku, hanya berjarak beberapa langkah saja. 

“Maaf, aku terburu-buru.” 

“Buru-buru bukan begini juga caramu jalan. Semabarangan.”

“Iya maaf, aku salah. Aku buru-buru sebab ada temanku yang terbunuh...”

“Apa katamu...? Yang benar saja...?” Ujar laki-laki burtubuh tegap tadi. 

Aku yang menguping langsung penasaran. Ku putuskan saja obrolanku dari ponsel dan mengalihkan diri ke topik lain. “Beri tahu aku lokasinya...” kataku kepada lelaki itu. 

“Di Jalan Perhubungan. Maaf, aku mesti bergegas.” Sahutnya yang langsung saja berlari. 

Beriringan dengan laki-laki itu menghilang dari tatapan, aku pun bergegas mengambil ponsel yang lain untuk melacak pergerakannya. Diam-diam aku menaruh alat kecil untuk mendeteksi ke mana dia pergi. 

Dengan tenang, ku perhatikan saja layar telepon genggam ini. Memang ia menuju ke jalan yang disebut tadi. Lalu aku pun mulai berjalan menyebrangi kerumunan menuju ke sebelah Gedung Keuangan Cot Jambee, tempat di mana aku memarkirkan mobil. 

Ketika sedang membuntuti orang tadi, tiba-tiba sebuah pesan Whatsapp masuk... dari Awsya. 

“Detektif, kenapa tiba-tiba kau memutuskan teleponku?”

Sialan, pasti ia marah. Bukan apa-apa, saat sedang berbincang tadi, wanita itu memang sedang membahas sesuatu penting, lebih tepatnya curhat. Aku merasa bersalah juga karena langsung memutuskan telepon. Tapi ya… nanti setelah ini aku akan menemuinya di markas. Meski aku sendiri tidak tahu cara meredam amarah seorang wanita. 

Di Jalan Perhubungan

Tidak sulit menemukan lokasi kejadian setelah alat pelacak yang ku taruh di pakaian lelaki yang ku temui di pasar malam tadi memberiku jalannya. Dan begitu tiba di TKP, beberapa polisi sudah lebih dulu turun tangan. Ada dua mobil patroli serta tiga sepeda motor Trail.

Aku berjalan melewati garis polisi, lalu seseorang memanggil, “Detektif...” 

Spontan aku menoleh ke kanan, ternyata dia Kapten Dzaki, seorang polisi berpangkat Kompol. Begitu aku meliriknya, ia langsung mendekat dan menjukurkan tangan. Aku pun meraih tangannya. 

“Apa yang terjadi di sini?” Tanyaku. 

“Pembunuhan... terhadap pengantin baru. Emmm, lebih tepatnya calon.”

“Dan...?” 

“Dia ditemukan oleh calon mempelai wanita di kamar dengan kondisi tewas bersimbah darah.”

“Hmm, mohon diteruskan, Kapten.” Pintaku. 

Ia pun menjelaskan panjang lebar dalam waktu dua menit membuatku seakan mengimajinasikan adegannya. 

“Sungguh tragis, padahal besok adalah hari pernikahan mereka.” Ujar Kapten Dzaki. 

“Kapten, aku minta izin untuk melihat situasi di dalam... sendirian.”

Ia mengangguk. Setelah itu, aku pun berjalan masuk mulai dari ruang tamu yang tertata rapi; terdapat banyak bingkai lukisan di dinding tapi hanya berupa coretan yang tidak ku mengerti. 

Lalu aku menuju ke ruang tengah yang ternyata luasnya tiga kali lipat dibandingkan dengan sisi utama rumah ini. Ada sebuah tv besar menempel tenang di sebelah kiri. 

Mempersingkat waktu, aku pun memilih untuk melihat kamar di mana calon mempelai pria itu terbunuh. Dari ambang pintu aku berhenti dan melihat jenazahnya masih terbaring di lantai dekat jendela. Jasad korban sudah ditutup dengan sehelai kain. 

Di dalam kamar ini, dua orang polisi mempersilahkanku untuk melihat kondisi tubuh korban. Aku pun membuka kain di tubuh jenazah ini dan langsung terlihat wajahnya yang kira-kira berumur 25 tahun, masih sangat muda. Di lehernya, aku menemukan sebuah luka seperti terkena goresan benda tajam, lumayan dalam robekannya. Sedangkan empat luka lain terdapat di perut yang dapat ku pastikan itu juga akibat benda tajam. Hanya saja lebih parah sebab ku dapati isi di dalam perutnya berserakan. 

Setelah mengecek sekujur tubuh korban, aku pun berdiri. Tidak sedikitpun aku dapat mengambil kesimpulan sementara melainkan hanya ada sedikit keanehan di sini. Selain itu, masih ada sisi-sisi di rumah ini yang mesti ku pelajari lebih lanjut.

Lalu aku menelusuri setiap ruangan yang ada, juga memeriksa keadaan di luar, kemudian kembali ke halaman depan untuk menemui Kapten Dzaki.

“Bagaimana?” Tanyanya. 

“Sudah berapa lama sejak tewasnya korban?”

“Bisa ku perkirakan dua puluh menit yang lalu sejak kami tiba.”

“Begitu ya...” aku membakar rokok. 

“Apa kau punya sesuatu?”

“Susah ku jelaskan. Bagaimana denganmu?” 

“Dugaanku saat ini... dia tewas bunuh diri. Kami sudah melihat setiap sisi rumah luar dan dalam, tak ada jejak mencurigakan untuk ku katakan ada orang lain yang datang membunuhnya.” Jelas Dzaki. 

“Baiklah kalau begitu...” sahutku sambil mengembuskan asap. 

Dzaki terdiam beberapa saat sambil melirik ke arahku, lalu berkata, “aku ingin mendengar asumsimu...”

Sepertinya kapten bertanya-tanya apa yang ku tahan-tahan selama ini... dapat ku baca dari raut wajahnya yang sangat penasaran.

“Sama...” imbuhku. “Belum ku dapati ada sesuatu yang lebih mencurigakan dari bunuh diri.” 

“Lalu...?”

“Kita tak mungkin bertanya langsung kepada pihak keluarga ataupun calon mempelai wanita. Mereka masih dalam kondisi trauma.”

Alasanku disetujui oleh Dzaki, ia mengangguk. 

“Tapi, kita bisa menanyakan beberapa hal kepada saksi lain. Barangkali kau sudah tahu siapa-siapa saja di antara mereka.” Ujarku. 

“Ya... dan sekarang, kita bisa mengizinkan pihak tim medis untuk membawa jasad korban agar segera di autopsi. Kita perlu jawaban dari situ juga, kan...”

“Jangan dulu...” aku spontan menyanggahnya. “Beri aku lima belas menit untuk kembali memeriksa jenazah itu.” Aku menatap mata Kapten Dzaki dengan sangat serius. 

“Kenapa?”

Ku abaikan saja pertanyaannya dan hanya menjawab, “lima belas menit... dan sendirian.” Kataku dengan tegas.

Dzaki masih bingung tapi dia langsung memberiku izin. “Tolong informasikan secepat mungkin apapun yang kau peroleh nanti.”

Aku mengangguk.

***

Pukul 23.30

Entah kenapa ada yang janggal setelah ku teliti jenazah calon mempelai pria itu. Sebenarnya dari tadi firasatku berkata kasus ini bukan bunuh diri tapi pembunuhan. Luka-luka di tubuh pria itu tidak teriris sendiri melainkan dilakukan oleh seseorang. 

Pendapatku ini bukan sembarangan sebab saat aku mengecek kondisi tubuhnya, tepat di sebelah calon mempelai pria itu ada pisau dan kawat. Dua benda tersebut terletak di sebelahnya; kanan dan kiri. Dan di sinilah kejanggalannya. 

Ya, kejanggalan ini ku dapati setelah aku mengetahui ada sidik jari seseorang di gagang pisau dan kawat. Kejanggalan lainnya adalah, tubuh jenazah itu dipenuhi oleh sidik jari tersebut. Bisa ku katakan hampir di sekujur tubuhnya terdapat tanda sidik jari yang berbeda-beda. 

Dan lagi, Kapten Dzaki berkata kasus ini sudah terjadi dua puluh menit yang lalu sebelum mereka tiba. Yang menjadi patokanku adalah; pertama, rumah ini sangat luas; kedua, di ruangan tamu ku lihat ada beberapa gelas berisi air sirup, pertanda pemilik rumah sedang menjamu tamu; ketiga, hampir semua ruangan di rumah ini lampunya menyala terkecuali di gudang dan di kamar tempat terbunuhnya calon mempelai pria itu; keempat, jendela di kamar korban terbuka yang bagiku itu bukan kebetulan belaka.

Aku yakin, semua hal yang ku dapati selama mengecek seisi rumah ini, semuanya sesuai kejadian, tidak ada orang yang mengubahnya. Aku sendiri juga sudah bertanya-tanya kepada dua polisi yang berada di kamar korban. 

Dengan kata lain, apapun yang ku temukan, semua persis sama, sesuai ketika kejadian pembunuhan ini berlangsung. Dan dugaanku mengenai pemilik rumah sedang menjamu tamu saat itu, ku yakini tamu tersebut adalah keluarga dari calon mempelai wanita. Sebab, dari pakaian yang mereka kenakan juga jenis setelan untuk berpergian. 

Hal lain yang membuatku menganggap ini adalah pembunuhan adalah... rumah ini punya beberapa CCTV. Aku berhasil meretas kamera pemantau itu dari ponselku, dan semua benda itu mati tepat di pukul 22.00 tadi. CCTV ini baru kembali aktif pada pukul 23.10. Dari sini aku beranggapan bahwa memang ada keanehan yang terjadi sejak pukul sepuluh. 

Tapi, mengenai pembunuh itu sendiri, aku tak tahu pasti apa dia masih di sekitar rumah ini atau sudah kabur. 

Kembali ke dalam rumah 

Aku masih penasaran dengan mayat pria itu, dan oleh karenanya aku pergi menuju ke kamar tadi untuk melihat-lihat lebih lanjut kondisi tubuhnya. Dari ambang pintu aku melangkah masuk perlahan hingga posisiku benar-benar di sebelah jenazah ini. Kemudian menekuk mendekat, aroma tak sedap mulai menusuk penciumanku, memaksaku menutup hidung.

Untuk berjaga-jaga, ku kenakan sarung tangan dan meraba sekujur tubuhnya. Saat sedang ku lakukan, tepat di bagian dada aku merasa seperti ada suatu benda yang timbul. Rasa penasaran kian merasuki hati dan tergerak untuk mengambil pisau mungil dari dalam jubah.

“Aku harus membelah dadanya.” Gumamku dalam hati. 

Begitu kulitnya robek, aku terkejut setelah menemukan banyak kabel, yang satunya sudah terputus mungkin karena terkena pisau ini. Tiba-tiba, sambaran api menyala dan melahap cepat kabel yang putus tadi. Firasat buruk mulai menghantui.

Aku pun bergerak menjauh dari mayat ini. Tapi aku tahu bahwa diriku tak punya lagi waktu untuk keluar dari kamar. Dengan cepat aku menyeretkan tubuh ke bawah ranjang. Begitu sampai, ledakan pun terjadi.

Duaarrr…

Lumayan besar. 

Setelah ledakan itu, aku mengintip ke arah mayat tersebut. “Jasadnya meledak, apa-apaan ini...” Aku bertanya-tanya dalam hati.

Tapi setidaknya satu dugaanku sudah terjawab. Ya, sejak awal aku curiga bahwa jenazah itu bukanlah sosok manusia melainkan seperti sebuah robot. Namun aku merasa tak yakin sebab terlalu jauh jika harus beranggapan demikian, pikirku. Tapi, apa yang ku temukan benar adanya. Kabel-kabel yang terpasang di dalam dada mayat itu bahkan sudah membuatku aneh. 

Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, di mana sosok calon mempelai pria itu? Tapi entahlah, sekarang bukan waktunya memikirkan hal itu. Lagipula, ledakan tadi seakan membuat panik orang-orang di luar. Aku bisa mendengar suara keributan dari dalam sini. 

Untuk memastikan lebih jauh, aku keluar dari bawah ranjang dan melihat mayat yang meledak tadi hancur lebur, hanya menyisakan kepala saja. Dari sini aku berani berpendapat, mayat ini bukanlah sosok manusia melainkan robot. 

Tiba-tiba, suara orang berlari dari atas atap mengagetkanku. Ku cermati sejenak suara langkahnya, dalam beberapa detik aku tahu dia berlari ke arah jam tiga. Dengan cepat aku mengambil grapple gun di dalam jubah sembari berlari ke jendela. Bersamaan dengan itu, ku sasarkan senjata tali ini ke atap rumah yang langsung tersangkut ke sebuah benda; aku tak yakin apakah tersangkut di besi-besi penyanggah atau malah ke sebuah beton. Yang pasti, begitu talinya terlilit ketat, aku melompat dari jendela juga menekan pelatuk senjatanya lebih dalam sekaligus, dan dengan seketika diriku tertarik ke atas. 

Begitu tiba, ku dapati seorang pria—memakai topeng—sepertinya ia sedang mencoba melarikan diri. Di tangan, ia memegang sebuah pedang panjang. Sudah pasti... dia bukan orang baik. 

Orang ini sadar dengan kehadiranku, ia langsung menoleh ke belakang dan mengarahkan pedang tajam itu kepadaku. 

“Jangan mendekat!” Ia menggertak. 

Sebenarnya aku sendiri tidak bermaksud untuk mendekat, bagaimana mungkin diriku mendekat di saat dia memegang pedang dan dalam posisi siap menyerang. 

Dari jarak dua puluh meter, aku memperhatikannya, tak ada tanda-tanda ia baru saja melakukan pembunuhan. Paling kurang, ada bercak darah di pakaiannya. Tapi ini sama sekali tak ada. Ia bersih. 

“Jangan ikut campur urusanku jika kau masih peduli dengan nyawamu.”

“Aku bahkan sama sekali tak ingin ikut campur. Hanya jalan-jalan ke sekitar.” Sahutku yang memanasinya. 

“Kau tak perlu bercanda di hadapanku. Aku tak main-main.”

“Lalu kau ingin aku untuk apa?”

“Ku bilang jangan bercanda...” ia berlari dan menyerangku. 

Aku sendiri melirik laju kakinya kemudian menoleh ke pedang yang ia genggam. Sepertinya orang ini bukanlah ahlinya. Terlihat dari caranya berlari dan memegangi pedang yang agak kaku. 

Dan begitu kedua tangannya mengayunkan pedang untuk menghantam kepalaku, aku pun mengelak dengan mudah. Tiga kali ia mencoba menyerang, tiga kali pula aku menghindar. Hal ini membuatnya terhenti sejenak. Ku perhatikan, napasnya mulai memburu. Sepertinya, ia tak bisa mengontrol emosi. 

“Aku hanya punya satu pertanyaan untukmu. Jika kau bisa sedikit tenang, singkirkan pedang itu dan kita mulai diskusi.” Kataku. 

“Hentikan omong kosongmu...!” Lelaki itu kembali menyerang. 

Kali ini, ia memaksakan diri untuk terus mendaratkan pedang tersebut kepadaku. Berbagai sisi dicoba akan tetapi serangannya memang mudah ku tebak. 

Ketika di ayunan yang ke lima, aku menggerakkan kedua kaki untuk mengubah posisi tubuhku menyamping dari dirinya. Di saat bersamaan, tanganku meraih tangannya yang seketika ku tarik ke punggung... memaksa orang ini menjatuhkan pedang. Ia mengerang tak kuasa menahan rasa sakit. 

Tanpa berlama-lama, ku buka topeng dari wajahnya dan mengetahui bahwa orang ini adalah calon mempelai pria. Wajahnya sama persis dengan mayat robot di kamar tadi.

Di momen-momen krusial ini aku langsung terbesit, ia memang tak pandai seni bela diri, tapi mengilas balik terhadap apa yang dilakukannya, pasti lelaki ini punya banyak rahasia yang barangkali masih ia sembunyikan… itu jika memang dirinya yang melakukan pemalsuan mayatnya sendiri.

“Kenapa kau memalsukan kematianmu?” Tanyaku. 

“Apa urusanmu, hah...?”

“Jika kau sudah melihat ada banyak polisi yang berdatangan, itu sudah menjadi urusanku sekarang.” 

“Dan jika itu yang kau katakan, maka aku takkan membiarkanmu ikut campur...” tiba-tiba seorang laki-laki lain menghampiri kami. Rambutnya sudah banyak beruban dan juga berkumis tipis.  Terlebih lagi, pistol yang ia pegang membuatku waspada.

“Ayah... tolong...” sahut lelaki yang sedang ku tahan. 

Jadi, pria yang satunya lagi itu adalah ayahnya. Apakah ini disebut sebagai rencana tiba-tiba? Atau ada trik yang mereka rencakan dan belum terealisasi sampai saat ini? Tapi abaikan dulu itu sejenak sebab sekarang aku dalam masalah besar.

“Serahkan dia... lalu, aku akan membunuhmu, detektif.” Ujar ayah lelaki ini. 

“Apa maksudnya ini semua?” Tanyaku kepada pria berambut putih itu. Bukan apa-apa, aku mulai bingung terhadap alur kasus sialan ini. 

“Karena sebentar lagi kau akan mati, maka akan ku katakan semuanya... semua ini untuk melancarkan pembunuhan kepada calon anakku. Dia wanita lajang sialan. Berani-beraninya mengkhianati anak laki-lakiku.” Jelasnya. 

“Jadi tujuan kalian sebenarnya membunuh wanita itu atau bahkan satu keluarga sekaligus?”

“Ha ha ha, kau memang cerdik, bisa dengan mudah mengetahui maksud terselubung kami. Tak heran kau dijukuki sebagai salah satu detektif hebat di Cot Jambee. Aku sangat menghargaimu.” Celotehnya. 

“Kau adalah Saidil, dosen Fakultas Teknik, ahli di bidang mesin dan elektro tapi juga tak boleh dianggap remeh untuk urusan kimia. Saat ini, posisimu di kampus terancam sebab kau ketahuan mencoba membunuh rekanmu. Usaha yang kau lakukan gagal dan sekarang kau sedang mencoba menghilangkan jejak. Meski begitu, kau tahu bahwa hal itu sulit untuk dilakukan sebab bukti yang dimiliki oleh lawanmu benar-benar akurat.” Aku mulai menjelaskan profil tentang pria berambut putih itu. 

“Kau tahu banyak tentangku. Wajar memang… dan karena itulah kau tak boleh ku biarkan hidup.”

Meskipun kata-katanya terdengar seperti memprovokasiku, aku sama sekali tak ingin termakan oleh itu dan terus melanjutkan membuka satu persatu rahasia kotor Saidil ini. 

“Lebih lanjut…” aku berhenti sejenak untuk menjitak kepala calon mempelai laki-laki ini.

Duukkk…

Aku tak peduli ia mengerang kesakitan. Lagipula, bocah ini terlalu lasak.

Setelah itu aku melanjutkan, “berdasarkan amatan pribadiku, sebenarnya kau tidak berniat membunuh calon mempelai wanita... kau berniat membunuh ayahnya sebab dialah orang yang sudah berani ikut campur terhadap perbuatan kotormu di kampus.” 

Kini, Saidil mulai menatapku serius. Sepertinya ia tak suka dengan perkataanku tadi. 

“Barangkali kau mengetahui bahwa hubungan anakmu dan calonnya dalam situasi buruk, di sini kau memanfaatkan anakmu untuk membunuh wanita itu, dan di saat bersamaan kau juga akan membunuh ayahnya. Bukan begitu?”

“Kurang ajar. Kau mampu berasumsi sejauh itu...” ujarnya. 

“Aku banyak berasumsi salah satunya anakmu ini yang sama sekali tidak pandai menggunakan pedang. Kau seakan memaksanya menjadi seorang pembunuh di tengah mentalnya yang lemah. Dan karena kau tahu anakmu tak mampu, maka kau menciptakan sebuah robot yang sama persis bentuknya seperti anakmu ini...”

“Saidil…” aku menatap tajam wajahnya, “kau berencana membunuh calon mempelai wanita itu sekeluarga dengan robot tersebut di mana kau sudah merancangnya sedemikian rupa dengan berbagai alat peledak.”

Sambil berbicara, aku mengambil sesuatu dari dalam jubah, “kau memang berniat membunuh mereka semua dengan cara meledakkan robot itu. Lagipula aku tahu... kau pasti punya remote untuk meledakkannya, kan...”

Mendengar diriku yang terus mengoceh, Saidil pun mengarahkan pistolnya tepat ke kepalaku. Ia mulai berang, mukanya pun juga memerah bagaikan suhu panas yang akan meledak. Akan tetapi, aku sama sekali tak peduli dan terus saja mengoceh membuka satu per satu rencananya meski aku pun belum tahu mana dari perkataanku yang benar dan mana yang tidak akurat. Selama Saidil tetap menunjukkan aura  kemarahannya, mungkin setiap asumsiku benar.

“Namun usahamu belum terealisasi... mungkin karena ada beberapa sebab. Atau, kau sengaja mengatur rencana dengan membuat anakmu seolah-olah sudah mati... barangkali kau punya tujuan lain, aku sendiri belum tahu pasti sampai saat ini.”

Tiba-tiba ia tersenyum, “kau… Semua yang kau katakan itu benar. Aku sengaja memalsukan kematian anakku. Tujuanku adalah, dia membunuh wanita itu dan aku dapat dengan mudah membunuh ayahnya.”

“Hanya saja...” Saidil melanjutkan, “rencanaku tidak berjalan sesuai keinginan sebab ada seseorang yang ternyata sudah peka dengan situasi yang ku buat.”

“Dan orang itu adalah ibu dari calon mempelai wanita.” Ujarku. 

“Yaa kau benar. Novia adalah orang yang menggagalkan rencanaku.” Sahut Saidil. 

Novia sendiri merupakan ibu dari calon mempelai wanita sekaligus seorang detektif yang biasa bertugas di daerah Lam Angan. Aku sendiri pernah bekerja sama dengannya meski hanya sekali. 

“Novia sadar bahwa ada keanehan dari jasad palsu anakku. Kemudian ia menghubungi polisi. Memang, awalnya rencanaku gagal, tapi aku sudah menyiapkan strategi lain yaitu... membiarkan polisi datang untuk mengecek seluruh rumah ini karena aku yakin mereka pasti akan menduga bahwa ini kasus bunuh diri.” Pria ini sudah berani mengatakan yang sebenarnya padaku.

Aku mendengar serius apa yang dikatakan oleh Saidil. Bahkan kini ia malah menurunkan bidikan pistol.

“Meski novia peka dengan situasi yang ku buat, tapi dia tidak dapat membaca rencanaku yang lain. Oleh karena itu aku tetap tenang sebab rencana pembunuhan ini masih bisa ku lakukan kapan saja aku mau. Hanya saja...” ia berhenti sejenak. 

“Hanya saja kau tiba-tiba datang,” ia mengarahkan telunjuknya kepadaku, “dan di situlah semua rencanaku rusak. Lagipula, kau sudah menghancurkan beberapa peralatanku di gudang. Aku tak tahu kenapa kau bisa menyadari peralatan itu, padahal aku sudah meletakkannya di tempat teraman dan bahkan anakku sendiri yang memantaunya… dasar anak tak berguna.” Saidil memaki anaknya sendiri.

Benar saja. Aku mendapatkan sesuatu saat menggeledah gudang. Di sana, tepatnya di dalam sebuah ruangan yang agak sempit, ada banyak monitor yang memantau segala sisi rumah Saidil. Monitor-monitor itu bukanlah kamera CCTV utama melainkan alat pemantau untuk melancarkan serangan tak terduga kepada mempelai wanita dan keluarganya. Dan orang-orang tidak akan sadar bahwa mereka sedang dipantau sebab kamera-kamera itu sengaja diletakkan di lantai-lantai seisi rumah tidak seperti kebanyakan CCTV lain yang di temple di atas dan terlihat jelas.

Saidil mungkin sudah memprediksi bahwa rencana pertamanya yaitu memalsukan kematian sang putra tidak akan berjalan mulus sebab ada Novia. Oleh karena itu, ia merancang senjata khusus sebagai antisipasi.

Sedangkan aku yang curiga terhadap monitor-monitor tersebut tergerak untuk mengutak-atikkannya. Dalam tiga menit aku pun menyadari bahwa benda-benda itu merupakan senjata untuk membunuh. Untungnya, aku membawa sebuah alat untuk merusak jaringannya. Tapi, aku beranggapan bahwa usaha yang ku lakukan belum dapat dikatakan tuntas sebab Saidil masih bisa melancarkan rencananya itu, pikirku. Karena aku yakin Saidil pasti punya remote untuk melakukannya.

“Kenapa kau malah menyalahkanku?” Tanyaku penasaran. “Bukankah kau masih bisa melakukan pembunuhan dengan senjata-senjata yang kau sembunyikan itu? Aku yakin kau pasti punya remote-nya, kan?”

“Ketika monitor di ruangan itu rusak, otomatis remote-nya pun tidak berfungsi.” Jawab Saidil.

Oh, aku baru paham sekarang. Ternyata memang karena ulahku itu Saidil menjadi sangat murka. Masuk akal mengapa ia tidak menggunakan senjata tersebut. Padahal, aku sendiri sudah menanti saat-saat kekacauan akan terjadi.

“Aku…” Saidil menunjuk dirinya, “butuh waktu dua setengah bulan untuk menyelesaikan senjata rahasia tersebut. Sedangkan kau… hanya butuh waktu 15 menit untuk merusaknya. Kau memang keparat yang suka ikut campur urusan orang lain.”  

Dengan geram, Saidil kembali membidik pistolnya, “kau orang yang sangat berbahaya, detektif. Pilihan terbaik adalah membunuhmu terlebih dahulu... baru nanti aku mengurus keluarga bajingan itu.”

“Mengurus keluarga bajingan itu…” aku mengumbar senyuman mengejek di tengah pria itu sudah bersiap untuk menembakku.

Pistolnya memang mesti ku waspadai, tapi aku juga masih punya waktu untuk membuatnya lebih marah. “Saidil… ya, kau memang sedang punya masalah dengan mereka, kan? Atau, jika harus ku detilkan, kau punya masalah dengan suami Novia, Weri.”

Sontak Saidil pun panik, ia seakan tak percaya dengan apa yang ku utarakan barusan. “Kenapa kau bisa tahu hal itu juga? Siapa yang membeberkannya? Apakah Weri…? Atau ada orang lain? Katakan agar aku membunuhnya juga.” Napas Saidil kian memburu.

Aku tak menanggapi dirinya dan dengan santai hanya terus mengumbar senyuman. Lagipula, sekarang aku sudah paham alur sesungguhnya dari kasus sialan ini. Semua berawal dari konflik antar sesama rekan kerja, Saidil dan Weri, ayah dari calon mempelai wanita. Keduanya terlibat cekcok. Dari yang ku ketahui, Weri menuduh Saidil bahwa ia memeras setiap mahasiswa yang sedang melakukan penelitian akhir. 

Di sisi lain, Saidil tak terima dan berusaha membungkam Weri. Namun, Weri adalah Dekan Fakuktas Teknik, tidak mudah menjatuhkannya. Oleh sebab itu Saidil berniat membunuh sang dekan. Dan puncak dari semua itu adalah pada malam ini. Ia mencoba membunuh sang dekan beserta keluarganya. Meski demikian, aku masih belum tahu pasti apakah memang terjadi pertikaian antara anak laki-laki Saidil dan anak perempuannya Weri hingga bocah lelaki ini tanpa ragu ingin membunuh calonnya sendiri, bahkan sampai harus memalsukan kematiannya terlebih dahulu.

“Detektif…!!!” Dengan suara lantang Saidil memaksaku untuk menjawab pertanyaannya.

“Jika kau memang penasaran, kenapa tidak mencari tahu sendiri seperti yang ku lakukan padamu malam ini…?” aku merespon sambil memprovokasi.

“Kau benar-benar membuatku muak. Baiklah kalau begitu, karena kau sudah tahu seluk-beluk rencanaku, aku akan membunuhmu sekarang. Apa kau punya kata-kata terakhir, detektif?" Celoteh Saidil.

“Kata-kata terakhir...?” Aku melirik anak laki-laki Saidil yang masih ku tahan sejak tadi, “aku hanya berharap semoga anakmu tidak kesakitan.”

“Haah…?” Saidil bingung. 

Tanpa basa-basi, aku langsung mengarahkan benda mungil ke paha anak laki-laki ini, lalu ku lepas kedua tanganku dari tubuhnya. Dalam waktu yang sama, ia pun kesetrum dan terjatuh dalam keadaan kejang-kejang. Beberapa saat kemudian iaterbaring lemah. 

Daya listriknya tidak terlalu besar, jadi luka yang didapatkan oleh orang itu hanya lumpuh sesaat, namun masih dalam keadaan sadar. Hanya saja, aliran listrik ini membuatnya lemah tak berdaya. 

Di luar perkiraan, Saidil malah tersenyum meski ku ketahui ia juga agak sedikit panik. “Terima kasih sudah mempermudah pekerjaanku. Dengan begitu aku tak perlu sibuk-sibuk mengurus anak bodohku.” Katanya dengan suara yang lumayan berat. 

Aku tidak menyahut apa-apa dan langsung mempersiapkan pergerakan yang di waktu bersamaan ku ambil bom asap dari dalam jubah lalu menjatuhkannya di hadapanku. Seketika asap tebal menyebar dan menghalangi pandangan. Di sisi lain, Saidil mencoba menembak dari balik kabut asap ini dan pelurunya mengenai dadaku. Tapi beruntung karena aku sudah mengenakan pakaian anti peluru. 

Aku tak boleh meremehkannya walaupun mengenakan setelan anti peluru. Apalagi tak ada satupun pistol di balik jubah melainkan hanya dua pisau kecil dan beberapa alat mainanku seperti alat setrum dan senjata bius pelumpuhan anggota tubuh. Dengan perlengkapan seperti ini akan sangat beresiko. Barangkali aku harus mundur sementara. 

Maka, berpikir cepat… aku pun berlari ke tepian atap untuk terjun ke bawah tanpa sepengetahuan Saidil. Ketika melompat, jubah hitam ini mengaliri udara dan menghambat lajuku yang sedang mendarat. Begitu tiba di bawah, segera diriku berlari ke sebuah pohon besar untuk bersembunyi. Dari sini, dengan kondisi yang agak gelap akan menyulitkannya menemukan keberadaanku. 

Saidil sendiri terus menembak ke berbagai arah, bahkan juga ke bawah yang hampir mengenai kepalaku. 

“Bajingan...” aku membatin. 

Aku yakin, suara tembakan itu membuat panik semua orang di depan termasuk para polisi. Dari sini aku mendengar teriakan Kapten Dzaki yang memberi perintah kepada bawahannya untuk menelusuri seisi rumah. Ia juga memanggil-manggil namaku, "detektiifff...!!!" 

Dari dahan-dahan pohon ini, aku terus memantau Saidil yang sedang mencari-cariku. Ia tidak menyadari bahwa sekarang aku sudah berada di bawah. Beberapa saat kemudian, asap yang ku sebabkan tadi mulai agak menghilang dan segera pria itu berlari ke sana-kemari mencari jejakku. Ia tak menghiraukan sedikitpun anaknya yang terluka, membuatku heran sendiri.

“Apa orang itu sama sekali tak peduli dengan kondisi anaknya?” Hatiku berujar.

“Jimmy keparat... kau akan menerima resikonya.” Saidil mengoceh dari atas, “keluar kau bajingan... cepat tunjukkan padaku dirimu.”

Saat sedang mengomel, tiba-tiba seorang polisi datang ke atap rumah. “Apa yang terjadi di sini, Pak?” Tanyanya. 

“Detektif Jimmy melakukan ini semua. Ia berencana membunuhku.” Jawab Saidil. 

Keparat orang itu, ia malah memfitnahku. 

“Tak mungkin... tak mungkin detektif melakukan itu.”

“Apanya yang tak mungkin...? Apa kau tak lihat kekacauan di sini, haah...?” Emosi Saidil mulai tidak stabil. 

Selang beberapa detik, Kapten Dzaki juga tiba di atas sana. Tidak seperti bawahannya, Dzaki langsung curiga setelah melihat Saidil memegang pistol. 

“Jangan bergerak!” Kata Kapten Dzaki. 

“Aku tidak melakukan apa-apa, hanya menyelamatkan anakku. Semua ini karena Detektif Jimmy.” Sahut Saidil.

Tiba-tiba, kapten baru menyadari bahwa anak Saidil yang juga merupakan calon mempelai pria ternyata masih hidup. Ia terkejut karena sebelumnya bocah lelaki itu tewas di kamar.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa anakmu masih hidup? Apa artinya ini…?” Dzaki mulai curiga.


***
Bersambung...

Comments